-->

Sosiologi Pariwisata (Keraton Yogyakarta)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Yogyakarta adalah tempat obyek wisata yang tidak asing lagi dimata orang ataupun di berbagai manca Negara. Disitu banyak berbagai tempat-tempat obyek pariwisata yang sangat penting, bersejarah dan mempunyai keunikan tersendiri dengan ciri khasnya masing-masing. Tempat-tempat obyek pariwisata tersebut misalnya: Monumen Jogja Kembali (Monjali), Kraton Yogyakarta, Malioboro, Tamansari, dan lain sebagainya.  Untuk itu kami mencoba menjabarkan berbagai fenomena yang ada pada salah satu tujuan wisata di Yogyakarta, yaitu Kraton Yogyakarta.
Di kawasan Kraton Yogyakarta ada banyak fenomena yang bisa ditemui. Di sekitar Kraton dijumpai banyak pedagang makanan, pedagang souvenir, pedagang batik, tukang parkir, tukang becak, dan sebagainya. Mereka setiap harinya mencari pendapatan di sekitar Kraton Yogyakarta.  salah satunya masyarakat sekitar yang ramah-ramah. Baik pemandu wisata, pedagang, tukang parkir pun melayani pengunjung dengan ramah dan santun. Selain itu Kraton Yogyakarta juga mempunyai keunikan tersendiri yang berupa peninggalan budaya yang menarik untuk kita pelajari.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana deskripsi kawasan wisata Kraton Yogyakarta?
2.      Bagaimana sejarah dan perkembangan wisata Kraton Yogyakarta?
3.      Apa keunikan dari Kraton Yogyakarta?
4.      Apa pengaruh wisata Kraton Yogyakarta bagi masyarakat?

C.     Tujuan
Dengan dilakukannya observasi lapangan dan pembuatan laporan ini, diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kawasan wisata Kraton Yogyakarta, sejarah, perkembangan  kawasan wisata,  keunikan, dan pengaruh wisata Kraton Yogyakarta bagi masyaraka.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    DESKRIPSI WISATA KRATON YOGYAKARTA
Lokasi dan Fasilitas 
Kompleks Kraton Yogyakarta terletak di pusat kota Jogjakarta, tepatnya persis di sebelah selatan titik km 0 Kota Jogjakarta. Dari Tugu Jogjakarta, kita tinggal berjalan lurus ke selatan, melewati Jalan Malioboro hingga memasuki gerbang utara Keraton di Alun-Alun Utara Jogjakarta. Karena terletak di pusat kota Jogjakarta, fasilitas dan akomodasi di sekitar kompleks Kraton Yogyakarta sangatlah lengkap. Selain segala jenis hotel, dari mulai hotel berbintang hingga hotel melati, dan segala jenis restoran/tempat makan, dari mulai restoran mewah hingga angkringan (warung makan kaki lima khas Jogjakarta), kita juga bisa belanja dengan segala macam cinderamata, pakaian, kerajinan, dan makanan khas Jogjakarta di sepanjang Jalan Malioboro, di Pasar Beringharjo, maupun di toko-toko di sekitar kompleks keraton. Semuanya tidak terlalu jauh dari keraton dan bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik becak maupun andong. Begitu pula dengan sarana transportasi dan komunikasi, semuanya dapat kita peroleh dengan mudah. Kawasan wisata Kraton Yogyaakarta ini buka setiap hari Senin hingga Minggu.

Kraton Yogyakarta (Jogja) atau sering disebut dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terletak di jantung provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta. Karena tempatnya berada di tengah-tengah Jogja, dimana ketika di ambil garis lurus antara Gunung Merapi dan Laut Kidul, maka Keraton menjadi pusat dari keduanya. Keraton atau Kraton Jogja merupakan kerajaan terakhir dari semua kerajaan yang pernah berjaya di tanah jawa. Ketika kerajaan hindu-budha berakhir kemudian di teruskan dengan kerajaan islam pertama di Demak, lalu berdiri kerajaan yang lain seperti Mataram islam yang di dirikan oleh Sultan Agung lalu berjalan dan muncul Keraton Jogja yang didirikan oleh Sultan Hamengku Bowono I. Hingga sekarang, keraton Jogja masih menyimpan kebudayaan yang sangat mengagumkan.
Dalam perkembangannya, Keraton Jogja banyak mengalami masa pasang surut kepemimpinan dan terjadi perpecahan. Yang paling terkenal adalah perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dimana kerajaan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu wilayah timur yang sekarang menjadi Keraton Surakarta dan wilayah barat yang disebut dengan Keraton Yogjakarta. Namun, Keraton Jogja juga banyak menyimpan sejarah yang tak bisa dilupakan begitu saja oleh bangsa Indonesia, termasuk dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, Keraton Jogja sangat kental dengan warisan budaya etnik jawa yang sangat menajubkan yang masih bisa di temukan di sekitar dan dalam keraton sendiri. Ketika ke Keraton Jogja, maka itulah gambaran sederhana tentang budaya dan keindahan tanah jawa. Semua hampir terwakilkan dalam satu tempat yang menarik dan sangat memukau. Di Keraton masih banyak menyimpan tentang berbagai kesenian, hasil budaya, ragam pakaian adat dan bentuk rumah ala jawa yang indah. Di Keraton Jogja juga mempertunjukkan bagaimana supelnya orang jawa dalam berkomunikasi dan bersapa dengan semua orang yang datang disana.
Istana Jogja, sebagai representasi dari budaya jawa bisa ditemukan ketika masuk ke dalam Keraton, seperti pergelaran tari-tari jawa tentang berbagai cerita (babad tanah jawa, epic ramayana) yang dipentaskan oleh penari yang handal dan mampu memukau menarik penonton seperti terbawa suasana sakral yang sangat menghipnotis. Di iringi suara gemelan yang mengalun indah bercampur dengan bait-bait jawa dilantunkan indah oleh pesinden dan warangono Keraton Jogja. Selain tari, juga disajikan pentas wayang orang yang sangat menarik untuk di lihat, wayang orang ini berbeda dengan kebanyakan karena gerakannya hampir mirip dengan gerakan ballet. Pementasan tari jawa tersebut dilakukan di tempat terbuka mirip dengan pendopo Keraton.
Melihat sudut Keraton yang lain seperti Kedhaton, dimana kedhaton ini merupakan tempat bertemunya Raja dengan semua pemangku Keraton. Dengan suasana bangunan joglo yang indah dengan beberapa ornamen jawa yang menghiasi di setiap tembok dan pilar, juga berbagai macam tanaman rindang menambah suasana sakral jawa lebih sejuk dan menarik. Pilar-pilar yang berjajar sedemikian rupa menambah gagah dan kuatnya Keraton Jogja waktu itu. Beberapa bangunan taman juga menghiasi setiap sudut komplek Kedhaton Keraton Jogja. Ada yang menarik dikomplek Kedhaton tersebut, ketika masuk pintu area Karaton maka akan selalu bertemu dengan para penjaga (pekerja khusus) Keraton atau yang biasa di sebut dengan Abdi Dalem. Abdi Dalem tersebut tidak boleh atau dilarang untuk mungkur (ina: membelakangi Kedhaton). Jadi sang Abdi Dalem akan selalu menghadap ke arah Kedhaton, bukan membelakangi kedhaton. Kedhaton merupakan simbol Raja, disana tempat Raja duduk dan begitulah salah satu cara untuk menghormati kepada Raja.
Didalam Keraton juga disajikan berbagai budaya jawa yang indah seperti batik yang merupakan warisan budaya jawa yang sudah diakui secara internasional. Beberapa lukisan, keris, foto raja-raja jawa, silsilah raja jawa, dan berbagai hasil budaya jawa. Ketika masuk di rumah batik, disana dilarang untuk memotret. Karena semua motif batik disana merupakan ciri Keraton Jogja yang merupakan simbol dari istana jawa yang hanya boleh dicetak dan dipakai di lingkungan istana saja. Beragam motif batik istana sangat menarik memang, desain yang khas dan berbeda dengan kebanyakan batik.
Beberapa alat gamelan juga ditampilkan di Istana Jogja, gamelan berasal dari kata gamel yang berarti memukul. Gamelan sendiri merupakan alat musik khas jawa dimana permainan musik ini dilakukan dengan mengunakan alat seperti kenong, kempul, kendhang, gong, suling, kecapi dan lain sebagainya. Gamelan sendiri dimainkan bersama penyanyi yang disebut dengan Sinden (perempuan) atau Warangono (lelaki) seperti yang di pentaskan ketika masuk ke komplek Istana Jogja dimuka. Ketika memasuki ruang lukisan, banyak dijumpai lukisan bersejarah seperti raja-raja jogja, istri dan anak-anak raja jogja, lukisan tentang kemerdekaan, dan berbagai macam pengambaran tentang keraton.

B.     SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KAWASAN WISATA KRATON YOGYAKARTA
Sejarah 
Asal mula Kasultanan Jogjakarta diawali ketika pada tahun 1558 M Ki Ageng Pamanahan mendapatkan hadiah sebuah wilayah di Mataram dari Sultan Pajang karena jasanya telah mengalahkan Aryo Penangsang.  Pada tahun 1577, Ki Ageng Pemanahan yang tetap selalu setia pada Sultan Pajang sampai akhir hayatnya, membangun istananya di Kotagede. Penggantinya, Sutawijaya, anak Ki Ageng Pemanahan, berbeda dengan ayahandanya. Sutawijaya menolak tunduk pada Sultan Pajang dan ingin memiliki daerah kekuasaan sendiri bahkan menguasai Jawa.
Setelah memenangkan pertempuran dengan Kerajaan Pajang, pada tahun 1588, Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan yang bergelar Panembahan Senopati. Kerajaan Mataram mengalami perkembangan pesat pada masa kekuasaan Sultan generasi keempat, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Setelah Sultan Agung wafat dan digantikan putranya, Amangkurat I, Kerajaan Mataram mengalami konflikinternal/konflik keluarga yang dimanfaatkan oleh VOC hingga berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada bulan Februari 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta. Dalam perjanjian tersebut, dinyatakan Pangeran Mangkubumi menjadi sultan Kasultanan Jogjakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwana I. Sejak tahun 1988 hingga sekarang, Kasultanan Jogjakarta dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwana X.
Keraton Jogjakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti. Lokasi keraton konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Jogjakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Lokasi Keraton Jogjakarta berada di antara Sungai Code di sebelah timur dan Sungai Winongo di sebelah barat serta Panggung Krapyak di sebelah selatan dan Tugu Jogja di sebelah utara. Lokasi ini juga berada dalam satu garis imajiner Laut Selatan dan Gunung Merapi.

C.     KEUNIKAN KRATON YOGYAKARTA
Kata keraton berasal dari kata ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal ratu/raja. Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta ini memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Secara garis besar wilayah keraton memanjang 5 km ke arah selatan hingga Panggung Krapyak dan 2 km ke utara berakhir di Tugu. Pada garis ini terdapat garis linier dualisme terbalik. Bisa dibaca secara simbolik filosofis bahwa dari Panggung Krapyak menuju ke Keraton (Kompleks Kedhaton) menunjukkan "sangkan", yaitu asal mula penciptaan manusia sampai manusia tersebut dewasa. Ini dapat dilihat dari kampung di sekitar Panggung Krapyak yang diberi nama kampung Mijen (berasal dari kata "wiji" yang berarti benih). Di sepanjang jalan D.I. Panjaitan ditanami pohon asam dan pohon tanjung yang melambangkan masa anak-anak menuju remaja. Dari Tugu menuju ke Keraton (Kompleks Kedhaton) menunjukkan "paran" tujuan akhir manusia yaitu menghadap penciptanya. Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo melambangkan tujuh langkah/gerbang menuju surga (seven steps to heaven). Sedangkan dari Keraton menuju Tugu juga diartikan sebagai jalan hidup yang penuh godaan. Pasar Beringharjo melambangkan godaan wanita, sedangkan godaan akan kekuasaan dilambangkan lewat Gedung Kepatihan. Keduanya terletak di sebelah kanan. Jalan lurus itu sendiri sebagai lambang manusia yang dekat dengan Pencipta (Sankan Paraning Dumadi). Secara sederhana, Tugu adalah perlambangan Lingga (laki-laki) dan Panggung Krapyak perlambangan Yoni (perempuan). Sedangkan Keraton sebagai jasmani yang berasal dari keduanya.
            Tugu dan Bangsal Manguntur Tangkil atau Bangsal Kencana (tempat singgasana raja), terletak dalam garis lurus. Hal ini mengandung arti, ketika Sultan duduk di singgasananya dan memandang ke arah Tugu, maka beliau akan selalu mengingat rakyatnya (manunggaling kawula gusti). Tatanan Keraton sama seperti Keraton Dinasti Mataram pada umumnya. Bangsal Kencana yang menjadi tempat raja memerintah –menyatu dengan Bangsal Prabayeksa sebagai tempat menyimpan senjata-senjata pusaka Keraton (di ruangan ini terdapat lampu minyak Kyai Wiji, yang selalu dijaga abdi dalem agar tidak padam)— berfungsi sebagai pusat. Bangsal tersebut dilingkupi oleh pelataran Kedhaton, sehingga untuk mencapai pusat, harus melewati halaman yang berlapis-lapis menyerupai rangkaian bewa (ombak) di atas lautan. Tatanan spasial Keraton ini sangat mirip dengan konstelasi gunung dan dataran Jambu Dwipa, yang dipandang sebagai benua pusatnya jagad raya.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berkonstruksi Joglo atau turunan konstruksinya. Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol yang biasanya bergaya Semar Tinandu. Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Keraton diapit dua alun-alun yaitu Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan. Masing-masing alun-alun berukuran kurang lebih 100×100 meter. Sedangkan secara keseluruhan Keraton Yogyakarta berdiri di atas tanah seluas 1,5 km persegi. Bangunan inti keraton dibentengi dengan tembok ganda setinggi 3,5 meter berbentuk bujur sangkar (1.000 x 1.000 meter). Sehingga untuk memasukinya harus melewati pintu gerbang lengkung yang disebut plengkung. Ada lima pintu gerbang plengkung (dua di antaranya masih masih bisa kita saksikan hingga kini) yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sebelah timur laut, Plengkung Jogosuro atau Plengkung Ngasem di sebelah barat daya, Plengkung Joyoboyo atau Plengkung Tamansari di sebelah barat, Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading di sebelah selatan, dan Plengkung Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur. Di dalam benteng, khususnya yang berada di sebelah selatan dilengkapi jalan kecil yang berfungsi untuk mobilisasi prajurit dan persenjataan. Sedangkan sebagai pertahanan, pada keempat sudut benteng dibuat bastion (tiga di antaranya masih bisa kita saksikan hingga kini) yang dilengkapi dengan lubang kecil yang berfungsi untuk mengintai musuh.
Di dalam bangunan benteng, selain ada bangunan keraton tempat tinggal Raja, di sekitarnya juga ada sejumlah kampung sebagai tempat bermukim penduduk, yang pada zaman dulu merupakan abdi dalem keraton, namun pada perkembangan berikutnya, hingga sekarang, orang yang tinggal di dalam benteng keraton tidak harus sebagai abdi dalem. Nama-nama kampung di dalam "njeron beteng" (wilayah dalam benteng) mempunyai sejarahnya sendiri dan masing-masing berbeda. Sebagai contoh gamelan, dahulu merupakan tempat tinggal para abdi dalem yang bekerja sebagai gamel (pemelihara kuda), siliran (pemelihara lampu/alat penerangan), nagan (niyagan/penabuh gamelan), matrigawen (penjaga keamanan lingkungan keraton), patehan (pembuat dan penyedia teh), kenekan (dari kata Bahasa Belanda knecht/pembantu, untuk menyebut para abdi dalem yang membantu kusir/sais kereta kuda), Langenastran (tempat tinggal kesatuan prajurit Langen Astra yang bertugas sebagai pengawal Sultan), Suryaputran (tempat tinggal Pangeran Suryaputra, putra Sultan Hamengku Buwana VIII), Kauman (tempat tinggal para Kaum/pemimpit umat Islam), rotowijayan (tempat menyimpan dan memelihara kereta kuda milik keraton), tamansari (tempat tinggal para istri dan puteri raja yang belum menikah), dan seterusnya. 

D.    PENGARUH WISATA KRATON YOGYAKARTA BAGI MASYARAKAT
Dampak Positif:
1.      Wilayah Kraton tidak esklusif dan tidak terkesan tertutup dengan masyarakat, karena jadi tempat wisata.
Kraton yang dulunya hanya merupakan sebuah kerajaan, dan bukan merupakan tempat umum kini menjadi tempat tujuan pariwisata yang mempunyai ciri khas tersendiri.Bahkan banyak wisatawan dari mancanegara yang tertarik mengunjungi Kraton Yonyakarta.
2.      Masyarakat semakin cinta terhadap peninggalan budaya.
Dengan mengunjungi Kraton Yogyakarta, maka kita akan lebih mengenal dan mengetahui berbagai peninggalan-peninggalan bersejarah yang patut kita lestarikan.
3.      Menghidupkan sendi-sendi ekonomi di masyarakat sekitar.
Dengan adanya wisata Kraton Yogyakarta, banyak masyarakat yang mencari nafkah di sekitar kawasan kraton. Misalnya saja banyak pemandu wisata, pedagang makanan, pedagang souvenir, pedagang batik, tukang parkir, tukang becak, dan sebagainya.
4.      Menambah devisa negara dan pendapatan asli daerah.
Dampak Negatif:
1.      Muncul banyaknya pengemis yang ada di sekitar kawasan wisata.
2.      Ketika pengendalian dan pengawasan kurang, maka lingkungan menjadi semrawut, kotor, karena pengelolaan daerah wisata kurang baik.

Teori Fungsionalisme- Strukturalisme
Teori struktural-Fungsionalis termasuk dalam teori konsensus, yang dipelopori oleh Herbert Spencer, Emile Dukheim, Redclirre. Brown, Talcott Parson, dan Robert Marton. Teori konsensus memandang masyarakat sebagai suatu struktur yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan, yang dipelihara oleh suatu mekanisme keseimbangan.
Teori Fungsionalisme-Strukturalisme melakukan analisis dengan melihat masyarakat sebagai suatu sistem dari interaksi anatar manusia dan berbagai institusinya, dan segala sesuatunya disepakati secara konsensus, termasuk dalam hal nilai dan norma. Teori Fungsionalisme menekankan pada harmoni, konsistensi, dan keseimbangan dalam masyarakat.
Teori Fungsionalisme sebagai mana diungkapkan oleh Durkheim, menggunakan analogi bahwa masyarakat sama dengan organisme dimana setiap organ mempunyai fungsi tertentu yang menjamin keberlanjutan masyarakat secara harmonis. Kalau organisme harus dilihat secara keseluruhan, maka demikian pula halnya dengan masyarakat, tidak bisa dilihat secara parsial.
Beberapa asumsi pokok Teori Fungsionalisme-Strukturalisme adalah sebgai berikut:
1.      Masyarakat, sebagai sistem sosial, terdiri dari bagian-bagian (subsistem) yang interdipendent. Masing-masing bagian mempunyai fungsi-fungsi tertentu, yang berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem secara keseluruhan.
2.      Setiap elemen atau subsistem harus dikaji dalam hubungan dengan fungsi-fungsi dan peranannya terhadap sistem, serta dilihat apakah subsistem tersebut berfungsi atau tidak, dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh perilaku suatu subsistem. Jadi yang dilihat adalah fungsi real, bukan fungsi yang seharusnya.
3.      Kalau suatu sistem dapat mempertahankan batas-batasnya, maka sistem tersebut akan stabil.
4.      Berfungsinya masing-masing bagian (subsistem) dalam suatu sistem, akan menyebabkan sistem ada dalam keadaan equilibrium. Masyarakat yang equilibrium adalah masyarakat yang stabil, normal, karena semua faktor yang saling bertentangan telah melakukan keseimbangan (Talcott Parsons).
5.      Apabila terjadi disfungsi pada suatu bagian, maka akan terjadi kondisi abnormal, sehingga keadaan equilibrium terganggu (Merton, 1957). Tetapi berfungsi atau disfungsinya suatu elemen sosial pada akhirnya akan menghasilkan equilibrium baru, dalam proses self-regulation (Mennel, 1980).
6.      Masing-masing elemen sosial mempunyai fungsi manifest dan fungsi latent. Fungsi manifest adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak dirancang, tidak diharapkan, atau tidak disadari (Merton, 1957).
Kaitan Teori
Kaitan antara teori Fungsionalime-Strukturalisme dengan Kraton Yogyakarta bisa terlihat dengan adanya struktur dalam kraton, yang mana masing-masing menjalankan fungsinya, sesuai dengan fungsi yang seharusnya dilaksanakan. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
 Berdasarkan peraturan yang dibuat oleh raja Mataram yaitu  Amangkurat, yang kemudian dilengkapi oleh Paku Buwana X, terdapat lima tingkatan dalam hiererki kebangsawanan yaitu:
1.    Para putra raja, termasuk dalam golongan gusti.
2.    Para cucu raja, termasuk dalam golongan bendara
3.    Para cicit raja, termasuk dalam golongan abdi sentana
4.    Para canggah, termasuk golongan bendara sentana
5.    Para wareng raja, termasuk dalam golongan abdi kawula warga
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menunjukkan bahwa istana (keraton) menjadi pusat kehidupan tradisional Masyarakat Jawa. Sehingga dapat dikatakan Pusat dari segala kebudayaan Jawa yang terkenal adiluhung itulah di kota Yogyakarta dengan pusatnya  Kraton Yogyakarta. Di Kraton ini terdapat berbagai struktur sosial yang sangat jelas dengan Raja sebagai pimpinan struktur paling atas. Hal ini seperti disampaikan oleh  Abdurrachman (2000 : 27) yaitu bahwa di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terdapat sebuah sistem yang terbentuk dari komponen-komponen sesuai dengan susunan-susunan kelas yang terdiri dari :

a.    Lapis pertama: Sultan.
Sultan bertugas sebagai kepala pemerintahan yang berkuasa di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
b.    Lapis kedua : Kerabat Keraton atau Sentana Keraton.
Kerabat Keraton merupakan keturunan dari Raja yang mempunyai keistimewaan dalam bidang-bidang tertentu.
c.    Lapis ketiga : Pekerja Administrasi Kasultanan maupun pemerintahan (Abdi Dalem atau Kaum Priyayi).
Abdi Dalem bertugas sebagai pegawai Keraton yang bekerja sesuai dengan jenjang kepangkatan atau gelar mereka.
d.    Lapis keempat : Golongan Wong Cilik.
Golongan wong cilik merupakan rakyat biasa yang patuh dan hormat terhadap Raja.

            Raja di pandang sangat sacral dan tidak setiap rakyat kecil (wong cilik) atau masyarakat umum dapat secara bebas bertemu dengan raja. Dilihat dari struktur tersebut Abdi dalem menempati lapis ketiga. Posisi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan wong cilik. Bagi mereka menjadi abdi dalem adalah sebuah kebanggan karena mampu secara langsung dapat mengabdi kepada raja. Menurut mereka abdi dalem merupakan suatu pengabdian yang dituturkan sebagai  abdining kanjeng sinuwun, yaitu abdinya Sultan, dan dapat diartikan sebagai suatu kesetiaan kepada Sultan dan penguasa alam ini, setia terhadap yang menguasai keadaan alam ini dan setia dengan penguasa yang dapat diartikan sebagai Raja KeratonYogyakarta. Abdi dalem Kraton sudah ada dan melayani Sultan sejak berdirinya kerajaan ini. 
 Raja sebagai pemimpin tidak melihat abdi dalem sebagai hubungan antara pimpinan dan bawahan, melainkan abdi dalem sebagai seseorang yang mengabdi kepada budayanya.  Pesan ini dapat ditemukan dicorak pakaian Pranakan yang dikenakan oleh mereka.  188 tahun yang lalu ketika Sri Sultan Hamengkubuwana V(1820-1855) menciptakan pakaian untuk para abdi.  Warna biru tua yang melekat, dengan corak garis vertikal berjumlah tiga dan empat garis memiliki makna dalam.  Garis  berjumlah tiga dan empat memiliki arti Telupat yang bermakna Kewuluminangka Perpat yang artinya di rengkuh dan disaudarakan dalam satu kesatuan di kerajaan.  Sifat persaudaraan yang diharapkan adalah persaudaraan sesama abdi dalem dan persaudaraan dengan Sri Sultan raja mereka.  Abdi ingin merasa dekat dengan raja mereka, ini disimbolkan dengan pakaian pranakan yang berwarna biru tua yang artinya memiliki tekat yang kuat dan kesungguhan hati dalam pengabdian terhadap raja mereka. Melihat pakaian badi dalem tersebut merupakan symbol bagaimana mereka dengan keikhlasan mengabdi kepada raja.
Abdi dalem juga mempunyai tingkatan dan struktur organisasi dan pembagian tugas diantara mereka. Para abdi dalem bekerja dibawah koordinir Pengageng. Pengageng membawahi personalia dari setiap tepas (kantor) dan caos (piket). Struktur sistem tersebut menunjukkan bahwa permasalahan yang ada di Keraton cukup banyak dan rumit. Oleh karena itu dibuat koordinator yang masing-masing membawahi bagian kerja yang saling berkaitan. Masing-masing bagian itu memiliki carik (sekretaris) yang bertugas dalam :

• Mengelola pembagian gaji
• Mengelola absensi
• Mengelola jalannya bagian kerja
• Menerima dan melayani tamu
• Melaksanakan tugas dan kesekretariatan
Masing-masing Kawedanan Hageng, tepas dan koordinator dipimpin oleh kerabat Sultan. Sementara itu, pelaksana tugas masing-masing kawedanan dan tepas tersebut dilaksanakan oleh pegawai Keraton yaitu Abdi Dalem. Dalam struktur organisasi tersebut, masing-masing komponen memiliki tugas. Tugas- tugas itu dikerjakan dengan ikhlas dan penuh rasa tanggung jawab terhadap pemimpinnya yaitu Sultan. Abdi Dalem Keraton Yogyakarta jumlahnya mencapai ribuan orang bahkan lebih dengan berbagai tugas dan pengabdiannya masing-masing. Oleh karena itu Abdi Dalem Keraton Yogyakarta dibagi dalam beberapa jenis serta tugasnya (Afrianto, 2002 : 40), yaitu :

1.    Abdi Dalem Punokawan
Yaitu Abdi Dalem yang berasal dari rakyat biasa bukan Pegawai Pemda DIY. Mereka sengaja ingin mengabdikan diri di Keraton Yogyakarta dan Sri Sultan.
Abdi Dalem Punokawan dibagi menjadi dua, yaitu :
a.    Abdi Dalem Punokawan Sowan
b.    Abdi Dalem Punokawan Caos

2.    Abdi Dalem Keparak
Yaitu Abdi Dalem perempuan yang umumnya menunaikan kewajibannya di Keraton kilen (keputren). Abdi Dalem Keparak umumnya bertugas menyiapkan piranti seperti sesaji kalau ada acara-acara Upacara Keraton.
Abdi Dalem bekerja dengan prinsip sukarela, artinya mereka mau melakukan pekerjaan apa saja atas kemauan sendiri dengan gaji yang sangat kecil. Mereka bekerja di Keraton dengan prinsip rame ing gawe sepi ing pamrih untuk mendapat berkah dalem. Sehingga dengan kata lain mereka tidak mengukur pengabdian mereka dari aspek material. Secara lahiriah jika dilihat besar gaji Abdi Dalem dari Keraton tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Abdi Dalem dan keluarga, tetapi mereka tetap mau bekerja di Keraton. Gaji yang diterima mereka berkisar Rp. 15.000,-Rp. 50.000.
Disana kita melihat abdi dalem yang bertugas sebagai guide. Abdi Dalem guide di Keraton berbeda dengan guide yang berada ditempat wisata pada umumnya, karena kebanyakan mereka memandu pengunjung dengan penuh ikhlas tanpa mengharap imbalan. Dan jika ada pengunjung yang memberi uang tip untuk Abdi Dalem guide maka mereka akan menerima apa adanya tanpa meminta tambahan lagi. Semua itu karena pengabdian yang tulus, walaupun mereka harus mendapat tambahan jam kerja. Pakaian yang digunakan oleh abdi adlem adalah pakaian beskap. Adapun pakaian yang digunakan ketika mengahdap raja dijelaskan oleh Margana yaitu :

1.    Pakaian abdi dalem punakawan yang mengahadap pada hari senin-kamis atau harian adalah baju beskap atau pranukan atau embagi. Pada saat pasowanan senin kamis baju pranakan sembagi dibuka.
2.    Abdi para bendoro pangeran atau lainya yang ikut mengahdap masuk berpakaian kulukan , baju sikepan kampuhan dan diijinkan memakai keris. Kampuhan diijinkan memakai keris apabila kulukan baju jawa diperbolehkan memakai keris . (margana 2004 : 97)
Ketika mengunjungi keraton abdi dalem memakai pakaian beskap dan blangkon khas Yogyakarta. Mereka tidak memakai sandal melainkan beralas kaki ketika memandu para wisatawan. Bagi mereka pasir di keraton itu suci.
Bahasa yang digunakan abdi dalem guide adalah bahasa Indonesia karena tidak semua pengunjung mengerti bahasa jawa. Sedangkan bahasa yang diucapka kepada Raja adalah bahasa Jawa yang tingkatanya sangat tinggi yakni bahasa jawa kromo alus.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Kraton Yogyakarta merupakan salah satu wisata yang menarik di Yogyakarta, karena mempunyai nilai sejarah, keunikan, dan berbagai peninggalan- peninggalan budaya.
            Dalam kaitannya dengan teori, Kraton Yogyakarta cenderung sesuai dengan teori Fungsionalisme-Strukturalisme. Hal ini bisa terlihat dengan adanya struktur dalam kraton, yang mana masing-masing menjalankan fungsinya sesuai dengan fungsi yang seharusnya dilaksanakan.
Saran
Kami selaku penyusun makalah ini menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini kedepannya.         


DAFTAR PUSTAKA

I Gede Pitana, dan Putu G.Gytri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi.


0 Response to "Sosiologi Pariwisata (Keraton Yogyakarta)"

Post a Comment

Contoh Penelitian Sederhana, Materi Sosiologi: Metode Penelitian Sosial (Problematika Proses Pembelajaran di Sekolah-Sekolah di Perkotaan)

Contoh Penelitian Sederhana, Materi Sosiologi: Metode Penelitian Sosial (Problematika Proses Pembelajaran di Sekolah-Sekolah di Perkotaa...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel