-->

Teori Sosiologi Klasik

A.    AUGUSTE COMTE
1.      Biografi Auguste Comte
Auguste Comte atau juga Aguste Comte (nama panjangnya Isidore Marie Auguste François Xavier Comte) lahir pada tanggal 19 januari 1798 di Kota Montpellier di Perancis Selatan (Pickering, 1993: 7)[1]. Orang tuanya berasal dari keluarga menengah dan hingga akhirnya sang ayah meraih posisi sebagai petugas resmi pengumpul pajak local. Orang tuanya adalah pegawai kerajaan dan penganut Agama Katholik yang shaleh. Pada usia 16 tahun Comte pindah ke Paris masuk ke sekolah politeknik studi keinsinyuran. Dia sangat kritis terhadap mahagurunya, dia sering mengajukan petisi apabila melakukan kesalahan. Sikapnya yang demikian dikeluarkan dari sekolah dan kembali ke kota asalnya Monpellier, sekalipun di tidak betah lama disana dan kembali ke Paris. Dua tahun setelah kembali ke Paris dia bertemu dengan Saint Simon yang kelak memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap dirinya.
Comte memulai karir profesionalnya dengan memberi les dalam bidang matematika. Meskipun ia sudah memperoleh pendidikan dalam matematika, perhatiannya sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. minat ini mulai berkembang di bawah pengaruh Saint Simon, yang memperkerjakan Comte sebagai sekretarisnya dan dengannya Comte menjalin kerjasama erat dalam mengembangkan karyanya sendiri. Kepribadian kedua orang ini saling melengkapi: Saint Simon seoreng yang tekun, arif, bersemangat, dan tidak disiplin, sedangkan Comte seorang yang metodis, disiplin, dan refleksif. Tetapi sesudah tujuh tahun, pasangan ini pecah karena perdebatan mengenai kepengarangan karya bersama, dan Comte lalu menolak pembimbingnya ini.
Heilbron (1995) menggambarkan bahwa comte bertubuh pendek dengan mata juling, dan sangat merasa gelisah dengan situasi sosial yang ada disekitarnya, khususnya ketika menyagkut perempuan. Ia juga terasing dari masyarakat secara keseluruhan. Ini dapat membantu menjelaskan bahwa comte menikah dengan Caroline Massin (perkawinan yang berlangsung dari tahun 1825 sampai dengan 1842). Ia adalah seorang anak haram yang belakangan ini disebut “pelacur” oleh comte, meskipun tuduhan itu akhir-akhir ini dipertanyakan kembali (pickering, 1997: 37)[2]. Kegelisahan pribadi comte berlawanan dengan kapasitas intelektualnya dan tampak bahwa rasa percayanya begitru kuat.
Ingatan comte yang luar biasa begitu tersohor. Didukung dengan ingatan fotografis ia dapat mengucapkan kembali setiap kata yang telah ia baca meskipun hanya sekali membacanya. Kekuatan konsentrasinya begitu hebat sehingga ia dapat menggambarkan seluruh buku tanpa menuliskan catatan sedikitpun. Seluruh kuliah disampaikannya tanpa catatan. Ketika ia duduk menulis buku-bukunya, ia menulis semua yang ada di dalam ingatannya (Schweber, 1991: 134).[3]
Ketika dalam perjalanan hidupnya dia berdebat setelah menyelesaikan monograf berjudul The Secientific Lobors Necessary for The Reorganisazion of Society pada tahun 1822 dan diterbitkan ulang pada 1824 dengan judul yang berbeda, pada saat diterbitkan Comte menuduh Saint Simon mencuri ide-idenya. Setelah Saint Simon meninggal, karya Comte terbesar adalah  A courese of Positive Phylosophy.
Heilborn menandaskan bahwa kehancuran terbesar terjadi dalam kehidupan comte pada tahun 1838 dan sejak saat itu ia kehilangan harapan bahwa setiap orang akan memikirkan secara serius karyanya tentang ilmu pengetahuan secara umum, dan khususnya sosiologi. Pada saat yang bersamaan ia mengawali hidup “yang menyehatkan otak” yaitu comte muylai tidak mau membaca karya orang lain, yang akibatnya adalah ia menjadi kehilangan harapan untuk dapat berhubungan dengan perkembangan intelektual terkini.
Setelah tahun 1838 ia mulai mengembangkan gagasan anehnya tentang reformasi masyarakat yang dipaparkannya dalam buku systeme de politique positive. Comte mulai menghayal dirinya sebagai pendeta tinggi agama baru kemanusiaan, ia percaya pada dunia yang pada akhirnya akan dipimpin oleh sosiolog-pendeta. (comte banyak dipengaruhi oleh latar belakang katoliknya). Menarik untuk disimak, ditengah-tengah gagasan berani itu, ia mendapatkan banyak pengikut di prancis maupun di Negara – Negara lain.
Sifat tulisan Comte umumnya berubah drastis setelah bertemu dengan Clothilde. Dia juga sudah memulai karya bagian keduanya yaitu System of Positive Politics yang merupakan suatu pernyataan menyeluruh mengenai strategi pelaksanaan praktis pemikirannya mengenai filsafat positif yang dikemukakannya sebelumnya. Namun, karya keduanya ini menjadi suatu bentuk perayaan cinta, tetapi dengan keinginan besar yang sama yakni membangun sistem menyeluruh, seperti dalam karyanya yang lebih dahulu.
Perubahan dalam tulisan Comte membingungkan beberapa pengagumnya, perasaan dan cinta yang merugikan akal budi merupakan peenyangkalan terhadap gagasan-gagasan positivis yang disanjung-sanjungnya dalam bukunya, serta kepercayaan akan kemajuan yang mantap dari pikiran manusia, dengan janji untuk suatu masyarakat yang lebih cerah di masa yang akan datang.
Auguste Comte wafat pada 5 september 1857 karena serangan kanker.

2.      Karya -  Karya Auguste Comte
Berikut ini adalah karya-karya dari auguste comte yang terkenal:
a.    Course Of Positive Philosophy
b.    System Of Positive Politics
c.    Appeal to Conservatives 

3.      Teori Yang Dikemukakan
Auguste Comte dibesarkan dalam tahun-tahun setelh revolusi Perancis dan jelas-jelas dipengaruhi oleh radikalisme dan keresahan masa itu. Sumber lain yang menjadi latar belakang pemikiran Comte adalah filsafat sosial yang berkembang di Prancis pada abad ke-18, yaitu paham ensiklopedis meskipun dia kelak keluar dari aliran ini. Latar belakang lainnya adalah aliran reaksioner dari para ahli theokratik terutama yang bernama De Maistre dan De Bonald. Serta latar belakang pemikiran Comte yang terakhir adalah aliran sosialistik yang terutama diprakarsai Saint Simon, Comte disatu pihak akan membangun ilmu pengetahuan sosial, dan dipihak lain akan membangun kehidupan ilmu pengetahuan sosial yang bersifat secientific. akibat dari latar belakang di atas Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu social statis dan social dinamis. Sosial statis di sisni adalah sebagai suatu tentang hokum-hukum aksi dan reaksi antara bagian-bagian dari suatu sistem sosial. Pada dasarnya sosial statis merupakan hasil suatu pertumbuhan.
Comte berpendapat yang terpenting dari sosiologi adalah sosial dinamis yaitu teori yang menyatakan perkembangan dan kemajuan masyarakat manusia yang menghilangkan studi tentang sejarah filsafat yang spekulatif.
Namun pembagian tersebut bukan berarti memisahkan satu dengan yang lainnya dimana sosial statis menghasilkan pendekatan yang elementer, akan tetapi itu semua tidak akan terjadi tanpa memahami itu sebagai hasil suatu perkembangan (sosial dinamis).
a.      Sosial dinamis
1.      The Law of Three stages
Hukum ini adalah hukum perkembangan intelegensi manusia. Hukum  ini membagi masyarakat membagi dalam tiga tahapan yaitu teologis, metafisis, dan ilmiah (positivisme) dan di dalam tahapan ini masing-masing terdapat bagian sub ordinari yang pertama teologis dibagi menjadi tiga yaitu fetishism, polytheism, dan monoteism. Ketiga tingkatan ini merupakan dasar teori yang dikembangkan oleh Auguste Comte.
2.      The Law of the hierarchie of the sciences
Hukum kedua dari sosial dinamis adalah hierarki dari ilmu pengetahuan dimana dalam pemikiran ini tidak selalu bersifat positive, seringkali masih ada pemikiran teologis.
3.      The Law of the correlation of pratical activities
Comte mengemukakan ada hubungan yang bersifat natural antara cara berfikir teologis dan militerisme. Menurut pemikirannnya teologis mendorong timbulnay usaha untuk menjawab semua persoalan melalui kekuatan.
4.      The Law of the correlation of the feeling
Dalam hukum ini masyarakat hanya dipersatukan oleh feeling (perasaan), korelasinya antara perkembangan pemikiran manusia dengan perkembangan daripada perkembangan sosial sentiment. Dalam tahapan ini hanya terabatas dalam suatu masyarakat local atau suatu city state. Sosial sentiment berkembang secara meluas seiring dengan perkembangan agama Kristen.

b.      Sosial Statis
Dalam hal ini, Comte bermaksud mengenai teori tertib dasar masyarakat. Sebagaimana disebut diatas membagi Sosiologi kedalam dua bagian yang memiliki kedudukan yang tidak sama, sekalipun sosial statis merupakan bagian yang lebih elementer dalam sosiologi. Tetapi kedudukannya tidak begitu penting disbanding dengan sosial dinamis. Fungsi sosial statis untuk mencari hukum-hukum dari bagian didalam suatu sistem sosial.
1.      The doctrine of the individual
Comte menganggap teori tentnag sikap=sikap dasar manusia sangat penting di dalam sosiologi. Dia menganggap bahwa individu adalah cerminan dari suatu masyarakat. Jadi jika kita menghilangkna dari sesuatu individu sama saja kita menghilangkannya dari masyarakat. Comte mengakui adanya sesuatu yang disebut insting yang dibagi menjadi dua yaitu egoistic insting dan altruistic insting.

2.      The doctrine of the family
Keluarga adalah unit masyarakat yang sebenarnya, keluarga terbentuk melalui insting dan daya tarik alamiah natural affection.
3.      The doctrine of the society
Keluarga menurut Comte bukanlah masyarakat namun masyarakat merupakan kesatuan yang lebih luas yang terdiri dari sejumlah esakeluarga.
4.      The doctrine of the state
Comte menganggap bahwa negara dan masyarakat itu merupakan dua hal yang berbeda. Menurutnya negara adalah bentuk khusus dari asosiasi atau organisasai sosial (Siahaan: 1986)[4]
Comte percaya bahwa pendekatan ilmiah untuk memahami masyarakat akan membawa pada kemajuan kehidupan sosial yang lebih baik. Ini didasari pada gagasannya tentang Teori Tiga Tahap Perkembangan
Perkembangan tersebut pada hakikatnya melewati tiga tahap, sesuai tahap-tahap pemikiran manusia yaitu:
a.      Tahap teologis
Ialah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda didunia ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas manusia. Cara pemikiran tersebut tidak dapat dipakai dalam ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan bertujuan untuk mencari sebab serta akibat dari gejala-gejala.
Contoh: Sebagaian masyarakat Indonesia masih percaya denagan kekuatan-kakuatan ghaib. Misalnya kepercayaan masyarakat jawa akan Nyi Roro Kidul dan penunggu Gunung Merapi.
b.      Tahap metafisis
Pada tahap ini manusia masih percaya bahwa gejala-gejala didunia ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di atas manusia. Manusia belum berusaha untuk mencari sebab dan akibat gejala-gejala tersebut.
Contoh: sebagian masyarakat Indonesia sudah menghilangkan kepercayaan akan hal-hal yang berbau mistis seperti

c.       Tahap positif
Merupakan tahap dimana manusia telah sanggup untuk berfikir secara ilmiyah. Pada tahap ini berkembanglah ilmu pengetahuan.
Contoh: masyarakat sudah mulai berfikir rasional, seperti  semua mempercayai apabila ada faktanya. 

Pemikiran Auguste Comte mengenai agama humanitas
Seiring dengan observasi yang dilakukan oleh Comte dalam mencari jalan tengah dia selalu bersentuhan dengan perang terus menerus dan individualitas pada zaman revolusi Perancis, hal itu semakin menentukan arah pemikiran Comte. Pendobrakan dilakukan Comte terhadap realitas sosial yang terus mencoba menghegemoni umat manusia pada zamannya melalui institusi gereja, hal yang kudus dan ketabuan yang dibuat oleh manusia (khususnya, pastur/pendeta/pemuka agama) mendapatkan kritik keras karena menjajakan doktrin, dogma dan  melakukan pembodohan yang berakibat, yang kaya tetap kaya lalu yang miskin akan tetap miskin.
Melalui ilmu pengetahuan yang telah ditebarkannya, Comte mencoba mensinkronisasikan altruisma unsur kebudayaan teologis, dimana konsensus sosial dan disiplin merupakan landasannya atas aktivitas sehari-hari umat manusia. Begitupun kesatuan organis terkecil di masyarakat,, mempengaruhi Comte sebagai institusi yang dapat meradiasi pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam pembentukan sosial orde pada masyarakat luas. Comte mulai merilis suatu pola dan bentuk penyebaran dari satu sosial orde yang sangat mempengaruhi umat manusia dan kemudian menciptakan agama baru yang sesuai dengan idealismenya yaitu berbentuk agama yang dapat dikatakan sekuler dan lengkap bersama ritus, hari rayanya, pemuka agama serta lambangnya, yang kemudian dinamakn agama humanitas. dimaksudkan untuk memberikan cinta yang lebih terhadap manusia-manusia yang menghasilkan karya dalam sejarah perkembangan manusia.
 Comte dikatakan telah kehilangan konsistensinya terhadap ilmu pengetahuan oleh para intelektual lainnya, karena sudah terbungkus oleh perasaannya terhadap Clotilde de Vaux yang mendapat penolakan darinya. Namun permasalahan pemujaan Comte, terhadap perempuan bukan karena hal itu melainkan diadopsi dari rentang sejarah cerita bunda Maria. Comte dapat juga dikatakan mengadakan sublimasi terhadap obsesinya, yaitu kebebasan berpikirnya atas idealismenya agar dapat menyiasati secara strategis. Menciptakan masyarakat positivis di masa depan, dalam kontekstual hubungan seks antara pria dan perempuan tidak perlu ada lagi dan “kelahiran manusia-manusia baru akan keluar dengan sendirinya dari kaum perempuan”. Comte bersama ahli-ahli bidang lainnya  sepakat dengan pemikirannya menjadi perangkat institusi keagamaan yang dibuatnya dan mulai mensosialisasikan agama humanitas-nya kepada kalangan elit-elit politik, Comte mengarang buku kembali dan diberikan judul Positivist Catechism dan Appeal to Conservatives.








B.     HERBERT SPENCER
1.      Biografi Herbert Spencer
Spencer lahir pada 27 April 1820 di kota kecil Derbyshire, Midland, Inggris. Sebagai anak tunggal seorang guru sekolah. Dia sebenarnya tidak terlahir tunggal, melainkan sembilan bersaudara. Hanya saja dia menjadi satu-satunya anak pasangan William dan Haerriet Spencer yang bertahan hidup. Potret keluarga Spencer yang bergelut melawan penyakit menjadi semacam mozaik dari kehidupan Inggris zaman Victorian abad ke-19. Ke-8 saudaranya meninggal karena sakit, penyebabnya adalah Inggris yang memasuki Revolusi Industri terperosok ke dalam problem negara industri yang sangat suram sekaligus mengkhawatirkan. Kala itu, bangunan pabrik biasanya menyatu dengan kawasan pemukiman. Bangunannya tua dan tidak terawat, ventilasi minim, kotor, penuh jelaga hitam, sempit, dan sumpek. Selain mengepung kota dengan asap hitam, limbah pabrik juga menimbulkan pencemaran, sanitasi yang tidak terawat, jalanan yang buruk, dan tentu saja polusi.
Karena alasan kesehatan, Spencer kecil menjalani pendidikan di rumah. Dia tidak belajar seni dan humaniora, melainkan teknik dan bidang utilitarian (Ritzer dan Goodman, 2007).[5]
Dalam usia relatif muda, 17 tahun tepatnya pada tahun 1837 Spencer muda terjun ke dunia kerja sebagai insinyur sipil di sebuah perusahaan kereta api London dan Birmingham. Karirnya terbilang bagus hingga akhirnya dia dipercaya menjadi wakil kepala bagian mesin di perusahaan tersebut. Pekerjaan ini dijalaninya sampai tahun 1846. Selama periode ini Spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri.
Spencer memiliki kemampuan sangat baik dalam mekanika. Kemampuan itulah yang memengaruhi imajinasinya dalam ilmu pengetahuan, terutama tentang biologi, masyarakat, dan ilmu sosial. Pada saat menjadi insinyur inilah Spencer mulai belajar menulis artikel secara serius. Tulisan pertamanya di bidang sosial dengan judul On the Proper Sphere of Government pada 1842 dimuat di majalah Non Conformist. Enam tahun kemudian, 1848, tulisan yang sama dimuat The Economist, majalah ekonomi terkemuka yang berbasis di London.
Tulisan Spencer mendapat sambutan hangat penggemarnya sehingga mereka rela membayar lebih dulu tulisan-tulisan Spencer sebelum tulisan itu diterbitkan. Kondisi inilah yang mendorong Spencer untuk berpikir alih profesi menjadi penulis ilmu pengetahuan bidang pengetahuan sosial, khususnya sosiologi. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, saat usianya menginjak 28 tahun dia pindah menjadi wakil editor majalah The Economist, berita mingguan yang berbasis di London. Majalah ini merupakan oposisi pemerintah dan pendukung perdagangan bebas. Melalui majalah ini Spencer banyak bertemu dengan orang terkenal pada saat itu, seperti Thomas Huxley dan George Eliot.
Saat usianya memasuki 30 tahun, Spencer telah mampu menerbitkan buku pertamanya yang berjudul Social Statics. Tiga tahun kemudian, pamannya (Thomas Spencer) meninggal dunia dan mewariskan harta cukup banyak kepada Spencer. Berbekal warisan itulah Spencer berani memutuskan untuk berhenti bekerja dan mencurahkan seluruh kegiatannya untuk menulis. Keberhasilan Spencer menulis banyak buku karena selain gemar membaca, Spencer adalah kolektor yang tekun mengumpulkan fakta-fakta mengenai masyarakat di manapun di dunia, ini seorang yang rajin mengumpulkan informasi, membuat sistematika atau klasifikasi data. Spencer memang sejak kecil mempunyai hasrat dan keinginan yang besar untuk menambah dan mengumpulkan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan memahami keseluruhannya.
Spencer juga mengembangkan sistem filsafat dengan aspek-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer membangun utiliterisme Jeremy Bentham yang memelopori aliran gerakan reformasi. Jeremy Bentham berpendapat bahwa logika ilmiah harus didasarkan pada pengetahuan yang cukup mengenai kondisi kehidupan sosial yang aktual. Konsep ini mendahului konsep-konsep Charles Darwin (Sukanto: 1982: 36).[6]
Spencer adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep Survival of the fittest atau yang kuatlah yang akan menang dalam bukunya Social Statics yang terbit pada tahun 1850. Konsep ini untuk menggambarkan kekuatan fundamental ilmu biologi yang menjadi dasar perkembangan evolusioner. Konsepsi ini dipengaruhi karya Thomas R. Malthus mengenai tekanan kependudukan,  An Essay on the Principle of Population (1798). isi  konsepnya antara lain adalah perjuangan untuk dapat bertahan bagi suatu masyarakat atau bagi beberapa masyarakat agar menghasilkan keseimbangan karena perubahan yang terjadi dari keadaan yang homogen yang tidak terpadu menjadi heterogen yang terpadu.
Sembilan tahun kemudian teori evolusioner karya Darwin terbit. Spencer dan Darwin melihat adanya persamaan antara evolusi organisme dengan evolusi sosial. Evolusi sosial adalah serangkaian perubahan sosial dalam masyarakat yang berlangsung dalam waktu lama yang berawal  dari kelompok suku atau masyarakat yang masih sederhana dan homogen kemudian secara bertahap menjadi kelompok suku atau masyarakat yang lebih maju dan akhirnya menjadi masyarakat modern yang kompleks (Horton dan Hunt, 1989:208).[7]
Selama hidupnya, Spencer menghasilkan sejumlah karya besar. Sebagian besar pemikiran Spencer tentang sosiologi ditulis dalam 10 buku (dua jilid Biologi, dua jilid psikologi, tiga jilid Sosiologi, dan dua jilid tentang moralitas) yang kemudian dikemas menjadi Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896). Paket ini memuat seluruh teori evolusi universal, meliputi evolusi bilogi, psikologi, sosial, dan etika. Karya-karya tersebut mengukuhkan dirinya sebagai penganut filsafat sintesis, yakni ilmu filsafat yang menggabungkan beberapa ilmu pengetahuan menjadi satu (Soekanto, 1990)[8].
Dari sederet karya tersebut, buku Principles of Sociology merupakan karya monumental Spencer yang mendorong perkembangan Sosiologi sebagai ilmu populer di masyarakat, terutama di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat. Meski begitu, Spencer kurang mendapat sambutan di negeri sendiri.
Spencer menderita karena keengganannya membaca secara serius karya-karya orang lain. Sebaliknya jika ia membaca karya lain sering kali hanya dilakukan untuk mencari penegasan atas gagasannya sendiri yang tercipta secara independen. Ia mengabaikan gagasan-gagasan yang tidak sejalan dengan gagasannya.
Jadi rekan sejawatnya, Charles Darwin bercerita tentang spencer: “jika saja ia mendidik dirinya untuk meneliti lebih banyak, bahkan dengan…merugikan daya pikirnya sendiri, ia akan menjadi seorang yang luarbiasa” (Wilt-shire, 1978:70).
Herbert Spencer  meninggal pada 8 Desember 1903.
2.      Karya-karya Herbert Spencer
Selama hidupnya, Spencer menghasilkan sejumlah karya besar. Sebagian besar pemikiran Spencer tentang sosiologi ditulis dalam 10 buku (dua jilid Biologi, dua jilid psikologi, tiga jilid Sosiologi, dan dua jilid tentang moralitas) yang kemudian dikemas menjadi Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896). Paket ini memuat seluruh teori evolusi universal, meliputi evolusi bilogi, psikologi, sosial, dan etika. Karya-karya tersebut mengukuhkan dirinya sebagai penganut filsafat sintesis, yakni ilmu filsafat yang menggabungkan beberapa ilmu pengetahuan menjadi satu (Soekanto, 1990)[9].
Dari sederet karya tersebut, buku Principles of Sociology merupakan karya monumental Spencer yang mendorong perkembangan Sosiologi sebagai ilmu populer di masyarakat, terutama di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat. Meski begitu, Spencer kurang mendapat sambutan di negeri sendiri.
Berikut sejumlah karya utama Spencer semaca hidupnya:
  1. Social Statics (1850).
  2. Principles of Psychology (1855).
  3. Principles of Biology (1861 dan 1864).
  4. First Principles (1862).
  5. The Study of Sociology (1873).
  6. Descriptive Sociology (1874).
  7. The Principles of Sociology (1877).
  8. Principles of Ethics (1883).
  9. Esai-esai:
    -          Education (1861).
    -          The Study of Sociology (1873).
    -          The Nature and Reality of Religion (1885).
    -          Various and Fragments (1897).
    -          Facts and Comments (1902).
Bila dicermati, karya-karya Spencer senantiasa mendasarkan konsepsi bahwa seluruh alam, baik yang berwujud organis, nonorganis, maupun superorganis berevolusi karena dorongan kekuatan mutlak yang kemudian disebutnya sebagai evolusi universal (Koentjaraningrat, 1987:34).[10]
Gambaran menyeluruh tentang evolusi universal umat manusia menunjukkan bahwa pada garis besarnya Spencer melihat perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari suatu bangsa di dunia sudah melalui tingkatan evolusi yang sama.
3.      Teori Yang Dikemukakan
Sebagai salah seorang pendiri sosiologi, usaha Spencer untuk memajukan ilmu ini sebagai suatu ilmu pengetahuan, menekankan pada perlunya pendekatan ilmiah bagi seluruh gejala yang ada serta meningkatkan pendekatan ini bagi pengakajian kehidupan sosial. Anggapan yang ada selama ini memang bahwa semua gejala yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan selalu dikaikan dengan konsep-konsep metafisis dan agama. Seperti juga Comte, Spencer memperkenalkan ide-ide barunya dengan pendekatan yang juga baru yang pada saat itu dianggap bertentangan dengan semua pendekatan yang ada. Ide-ide Spencer pada saat itu memang mengalami tantangan. Sadar akan hal inilah Spencer melakukan rekonsiliasi antara ilmu pengetahuan dan agama yang termuat di dalam bukunya: First Principles, di mana dia membedakan antara dua fenomena yaitu fenomena yang dapat diketahuai dan fenomena yang tidak dapat diketahui. Hal-hal yang dapat diketahui katanya adalah yang merupakan pengalaman kenyataan dan mudah diterima oleh manusia sedangkan hal-hal atau gejala-gejala yang tidak dapat diketahui merupakan hal-hal yang berada di bawah lapangan pengetahuan manusia serta konsepsi manusia. Sejak kepercayaan absolut tentang Tuhan diterima oleh manusia, katanya, maka kepercayaan terhadap Tuhan merupakan kategori yang tidak dapat diketahui dan tidak dapat dilihat. Spencer mencoba melakukan kompromi antara ilham pengetahuan dengan agama.
Spencer memulai tiga garis besar teori umum yaitu apa yang disebutnya dengan tiga kebenaran universal yang berbunyi: (1) adanya materi yang tidak terusakkan, (2) adanya kesinambungan gerak, (3) adanya tenaga kekuatan yang terus menerus. Di samping itu ada proposisi yang berasal dari kebenaran universal yaitu:
  • Kesatuan hukum, kesinambungan hubungan antara kekuatan-kekuatan yang tidak pernah muncull dengan sia-sia dan tanpa akhir.
  • Bahwa kekuatan tersebut tidak pernah musnah namun akan ditransformasikan ke dalam bentuk persamaan yang lain.
  • Segala sesuatu yang bergerak sepanjang garis setidak-tidaknya akan dirintangi oleh suatu kekuatan yang lain.
  • Adanya suatu irama daripada gerakan atau disebut dengan gerakan alternatif.
Menurut Spencer, harus ada suatu hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda-beda di halaman proses evolusioner ini. Dan hukum itu ialah pernyataan bahwa hilangnya sesuatu gerakan biasanya diiringi oleh tujuan gerakan itu sendiri dan akan munculnya suatu disintergrasi dari keadaan tersebut atau menurut Spencer, adanya evolusi selalu diikuti oleh disolusi. Evolusi yang sederhana hanyalah merupakan suatu gerak yang hilang dan merupakan suatu redistribusi dari keadaan. Evolusi itu sendiri terjadi dimana-mana dalam bentuk inorganik seperti astronomi dan geologi, kehidupan organik sepertii biologi dan psikologi serta kehidupan superorganik seperti sosiologi.

Spencer mengajukan empat pokok penting tentang sistem evolusi umum yaitu:
  • Ketidakstabilan yang homogen. Setiap homogenitas akan semakin berubah dan membesar dan akan kehilangan homogenitasnya karena kejadian setiap insiden tidak sama besar.
  • Berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris. Berkembangnya bentuk-bentuk yang sebenarnya hanya merupakan batas dari suatu keseimbangan (equilibrium) saja, yaitu suatu keadaan yang seimbang yang berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang lain.
  • Kecenderungan terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan atau segresi.
  • Adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.
Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi evolusi di dalam bentuknya yang paling kompleks. Evolusi ini adalah merupakan evolusi superorganis yang termasuk semua proses dan produk tindakan yang dillakukan oleh individu-individu. Di dalam karyanya, Prinsip-Prinsip Sosiologi, Spencer membagi pandangan sosiologisnya menjadi 3 bagian yaitu:
  • Faktor-faktor extrinsic asli seperti: fisis dan iklim.
  • Faktor-faktor intrinsic asli seperti: fisis, intelektual, rasa, atau emosional manusia.
  • Faktor asal muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan, kebiasaan, hukum, dan lembaga-lembaga.
Dalam tahun 1890 Prof. Giddengs membuat singkatan ajaran sistem sosial yang telah disepakati oleh Spencer sendiri. Adapun singkatan sistem sosial Spencer adalah sebagai berikut:
  • Masyarakat adalah oragnisme, atau mereka adalah superorganis yang hidup berpencar-pencar.
  • Antara masyarakat dan badan-badan yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi tenaga, suatu kekuatan yang seimbang. Keseimbangan itu ialah antara masyarakat dan masyarakat, anatra kelompok sosial satu dengan kelompok sosial lain.
  • Equilibrasi antara masyarakat dan masyarakat, antara masyarakat dan lingkungan mereka berjuang satu sama lain demi eksistensi mereka di antara warga masyarakatnya. Akhirnya konflik mejadi suatu kegiatan masyarakat yang sudah lazim.
  • Di dalam perjuangan ini kemudian timbullah rasa takut di dalam hidup bersama serta rasa takut untuk mati. Rasa takut mati adalah pangkal kontrol terhadap agama.
  • Dengan diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama maka kebiasaan konflik menjadi benih militerisme. Militerisme membentuk sifat dan tingkah laku serta membentuk organisasi sosial dalam peperangan pada umumnya.
  • Militerisme menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang kecil menjadi kelompok sosial yang lebih besar. Dalam penggabungannya ini diperlukan integrasi sosial. Proses semacam ini memperluas medan integrasi sosial yang biasanya terdapat pemupukan rasa perdamaian antara sesamanya serta rasa kegotong-royongan.
  • Kebiasaan berdamai dan rasa kegotong-royongan membentuk sifat, tingkah laku serta organisasi sosial yang suka pada hidup tentram dan penuh dengan rasa setia kawan.
  • Di dalam tipe masyarakat yang penuh dengan perdamaian kekuatannya akan berkurang namun sebaliknya rasa spontanitas serta inisiatif semakin bertambah, organisasi sosial menjadi semacam plastik saja sedangkan anggota masyarakat dapat berpindah dengan leluasa dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka mengubah hubungan sosial mereka tanpa merusak kohesi sosial yang telah ada. Kesemuanya ini merupakan elemen di mana rasa simpati dan seluruh pengetahuan yang ada di dalam kelompok sosial merupakan kekuatan tersendiri bagi masyarakat primitif.
  • Perubahan dari semangat militerisme menjadi semangat industrialisme, semangat kerja keras tergantung pada luasnya tenaga antar kelompok-kelompok masyarakat yang ada serta kelompok masyarakat tetangganya, antara ras dalam suatu masyarakat yang ada serta masyarakat yang lain, antara masyarakat pada umumnya serta lingkungan fisis yang ada. Akhirnya semangat kerja keras yang disertai dengan penuh rasa perdamaian tak dapat dicapai sampai keseimbangan bangsa-bangsa serta ras-ras yang ada tercapai lebih dahulu.
  • Di dalam masyarakat, seperti pada kelompok masyarakat lain tertentu, luasnya perbedaan serta jumlah kompleksitas segenap proses evolusi tegantung pada nilai-nilai proses integrasi. Semakin lambat nilai integrasinya, semakin lengkap dan memuaskannya jalannya evolusi itu.
Setelah mempelajari evolusi sosialnya Spencer, maka Rumney menyimpulkan bahwa konsep yang telah dicapai dapat dikualifikasikan sebagai berikut:
  • Perkembangan yang tidak linier harus dikeluarkan.
  • Batas-batas harus diletakkan di setiap proses sosial atau garis perkembangan.
  • Evolusi dalam artian menurunnya modifikasi yang tidak boleh dikacaukan dengan evolusi yang berkonotasi terhadap asal mula segala sesuatu.
  • Formula evolusi sosial tidak perlu diperluas atau bila diperluas akan kehilangan nilai penjelasannya.
  • Integrasi serta perbedaan yang meningkat terjadi di dalam evolusi, namun peningkatan kesemuanya itu tidak perlu menimbulkan kompleksitas.
  • Spencer hanya memberikan sedikit mengenai faktor manusia, kesadaran dalam pembuatan perencanaan yang dibuat oleh individu atau kelompok.
  • Dia melupakan aspek-aspek kualitatif mengenai evolusi.
  • Dia salah dalam mengasosiakan kemajuan yang ada dalam evolusi.
Spencer menggunakan istilah progres dan evolusi sebagai suatu istilah yang sinonim. Dia beranggapan bahwa evolusi itu sudah jamak, otomatis dan mempunyai kaitan dengan hal-hal yang bersifat progresif. Bahwa evolusi manusia telah mengambil tempat sudah tidak diragukan lagi daripada evolusi biologisnya. Namun yang masih tetap diragukan ialah penyebab evolusi itu sendiri.
Spencer tentang Teori Evolusi
Soekanto (1990:484-485) mendefinisikan evolusi sebagai serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan dan kumulatif yang terjadi dengan sendirinya dan memerlukan waktu lama. Evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang  terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Perubahan ini tidak harus sejalan dengan rentetan  peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan.[11]
Menurut Soekanto (1990:345-347), teori tentang evolusi dapat dikategorikan dalam  tiga kategori:
  1. Unilinear theories of evolution. Teori ini berpendapat bahwa manusia  dan masyarakat (termasuk kebudayaannya) mengalami perkembangan melalui tahapan tertentu, mulai dari bentuk sederhana menuju ke yang lebih kompleks (madya dan modern) dan akhirnya menjadi sempurna (industrial, sekuler). Pelopor teori ini antara lain adalah August Comte dan  Herbert Spencer. Variasi teori ini adalah Cyclical theories yang dipelopori oleh Vilfredo Pareto dengan mengatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan mempunyai tahap-tahap perkembangan yang merupakan lingkaran yang pada tahap tertentu dapat dilalui berulang-ulang. Pendukung teori ini adalah Pitirim A. Sorokin yang mengemukakan teori dinamika sosial dan kebudayaan. Menurut Sorokin, masyarakat berkembang melalui tahap kepercayaan, tahap kedua dasarnya adalah indera manusia, dan tahap terakhir dasarnya adalah kebenaran.
  2. Universal theory of evolution. Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap perkembangan tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Spencer mengemukakan prinsip-prinsipnya yaitu antara lain mengatakan bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan sifat maupun  susunannya dari kelompok homogen ke kelompok yang heterogen.
  3. Multilined theories of evolution. Teori ini lebih menekankan pada penelitian-penelitian terhadap tahap-tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang pengaruh sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian kekeluargaan dalam masyarakat.
v  Hukum Evolusi
Sejak tahun 1879 spencer mengetengahkan sebuah teori tentang Evolusi Sosial yang hingga kini masih dianut walaupun disana sini ada perubahan. Evolusi secara umum adalah serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan sendirinya, dan memerlukan waktu yang lama. Sedangkan evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Ia yakin bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat primitive ke masyarakat industri. Herbert spencer memperkenalkan pendekatan analogi organic, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
Proses evolusi masyarakat yaitu perorangan-perorangan bergabung menjadi keluarga, keluarga-keluarga bergabung menjadi kelompok, kelompok-kelompok menjadi desa, desa menjadi kota, kota menjadi Negara, dan Negara menjadi perserikatan bangsa-bangsa(Veeger, 1992: 80).[12]

Evolusi adalah penyatuan dan pengintegrasian materi kedalam kesatuan-kesatuan yang lebih besar dan lebih rumit strukturnya.
v  Evolusi Masyarakat
·         Teori tentang evolusi hukum dalam masyarakat.
Skema teori:
Hukum keramat        hukum sekuler           hukum kekuasaan otoriter   hukum keramat raja             undang-undang
Spencer mengatakan bahwa hukum yang ada pada masyarakat pada awalnya adalah hukum keramat. Hukum keramat berasal dari nenek moyang yang berupa aturan hidup dan pergaulan. Karena masyarakat semakin kompleks sehingga hukum keramat tersebut tidak cocok lagi.
Maka timbullah hukum sekuler yaitu hukum yang berlandaskan azaz saling butuh-membutuhkan secara timbal balik di dalam masyarakat. Namun karena jumlah masyarakat semakin banyak maka dibutuhkan sebuah kekuasaan otoriter dari raja untuk menjaga hukum sekuler tersebut.. dalam perkembangan selanjutnya timbullah masyarakat “beragama” sehingga kekuasaan otoriter rajapun tidak lagi cukup. Untuk mengatasi hal tersebut ditanamkanlah suatu keyakinan kepada masyarakat yang mengatakan bahwa raja adalah keturunan dewa sehingga hukum yang dijalankan adalah hukum keramat.
Pada perkembangan selanjutnya timbullah masyarakat industry, dimana kehidupan manusia semakin bersifat individualis sehingga hukum keramat tidak bisa lagi mengaturkehidupan bermasyarakat. Maka muncul hukum undang-undang.
·         Teori asal mula religi
Skema teori:
Penyembahan roh nenek moyang               penyembahan dewa-dewa.
Spencer mengatakan bahwa semua bangsa yang ada di dunia ini, religi itu dimulai dengan adanya rasa sadar dan takut akan maut.ia berpendapat bahwa religi tertua adalah penyembahan terhadap roh-roh nenek moyang yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang yang telah meninggal. Bentuk religi ini akan berevolusi ke bentuk religi yang lebih kompleks yaitu penyembahan kepada dewa-dewa seperti dewa kejayaan, dewa perang, dewa kebijaksanaan, dewakecantikan, dewa maut dll.
Spencer juga berpendapat bahwa dalam evolusi sosial aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam masyarakat, adalah hukum yang dapat melindungi kebutuhan warga masyarakat.
Sementara itu, perspektif evolusioner adalah sudut pandang teoretis paling awal dalam sosiologi.  Hal tersebut berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903). Keduanya menaruh perhatian pada perkembangan masyarakat secara evolusioner dari keseluruhan atau kesatuan yang utuh.
Horton dan Hunt (1989:16-17) menjelaskan, perspektif evolusioner adalah perspektif yang aktif, sekali pun bukan merupakan perspektif utama dalam sosiologi.[13]
Dalam bukunya, Positive Philosophy (1851-1854), Comte menulis tentang tiga tingkatan yang pasti dilalui pemikiran manusia yaitu: teologis, metafisik (atau filosofis), dan akhirnya positif (atau ilmiah). Comte berpendapat bahwa masyarakat mempunyai kedudukan yang dominan terhadap pribadi.
Sebaliknya, Spencer berpendapat bahwa pribadi mempunyai kedudukan dominan dalam struktur masyarakat. Dia menekankan bahwa pribadi merupakan dasar struktur sosial, meskipun masyarakat dapat dianalisis pada tingkat struktural. Struktur sosial suatu masyarakat dibangun untuk memungkinkan anggotanya memenuhi berbagai keperluan.  Oleh karena itu, banyak ahli memandang Spencer bersifat individualistis. Terkait ketertarikannya pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat modern, Spencer menilai  masyarakat bersifat organis. Pandangan ini yang kemudian menjadikan Spencer sering disebut sebagai seorang teoretis organik karena usahanya memperluas prinsip-prinsip evolusi pada ilmu biologi ke institusi sosial.
Lebih jauh Spencer mengungkapkan bahwa perubahan alamiah dalam diri manusia mempengaruhi struktur masyarakat. Kumpulan pribadi dalam masyarakat merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses kemasyarakatan yang pada hakikatnya merupakan struktur sosial dalam menentukan kualifikasi.
Bagi Spencer, masyarakat  merupakan material yang tunduk pada hukum universal evolusi. Masyarakat mempunyai hubungan fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu dalam masyarakat, terutama dalam organisasinya. Masyarakat tersusun atas dasar hakikat manusia dan bentuknya sangat dipengaruhi oleh alam yang sulit dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan oleh manusia sangat sulit ditentukan akibatnya (Haryanto, tt:24).[14]
Diakui atau tidak, Spencer terpikat Darwinisme sosial populer setelah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of Species (1859), sembilan tahun setelah Spencer memperkenalkan teori evolusi universalnya. Spencer memandang evolusi sosial sebagai serangkaian tingkatan yang harus dilalui semua masyarakat yang bergerak dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat heterogen.
Horton dan Hunt (1989:59-61) menilai adanya suatu optimisme di masyarakat. Kemajuan masyarakat yang terus meningkat pesat pasti akan mengakhiri kesengsaraan dan meningkatkan kebahagiaan manusia.[15]
Menurut Haryanto (tt:25), semua teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang dilalui semua masyarakat. Perubahan sosial ditentukan dari dalam (endogen) yang sering digambarkan dalam arti diferensiasi struktural, perubahan dalam arti dari yang paling sederhana menuju masyarakat yang lebih kompleks. Masyarakat sederhana tidak terpadu yang tidak pasti (indefinite, incoherent homogenity), memiliki karakteristik, tidak ada pembagian tugas atau peran yang rinci dan lebih banyak bersifat informal. Sedang masyarakat yang lebih kompleks (definite, coherent heterogenity) memiliki karakteristik terspesialisasi dan formal.[16]
Evolusi terjadi pada tingkat organis dan pada tingkat anorganis. Pada tingkat organis, perubahan terjadi dari sel homogen sederhana menuju organisme terpadu yang lebih tinggi dan kompleks. Evolusi anorganis prosesnya adalah proses yang bermula dari bulatan gas yang tidak menentu, tidak terpadu dan homogen, kemudian menggumpal menjadi bintang, planet, matahari, bulan yang berbeda yang kemudian diintegrasikan menjadi satu keseluruhan dalam gerakan yang mengikuti hukum-hukum tertentu. Selain evolusi organis dan anorganis, ada evolusi yang disebut evolusi superorganis. Evolusi superorganis ini hanya terjadi pada masyarakat. Evolusi superorganis di kemudian hari lebih dikenal sebagai evolusi sosial dan evolusi produksi yang sekarang kita kenal sebagai evolusi kebudayaan.
Seperti halnya sel pada organisme yang mempunyai cara dan sifat masing-masing, Spencer menilai watak dan sifat manusia itulah yang membawa perbaikan bagi masyarakat. Watak yang baik mudah menjadi teladan mengalami kemajuan karena rintangan yang muncul dapat terkikis dengan sendirinya pada saat terjadi proses menyelaraskan diri dengan masyarakat dan kemajuan. Hal ini juga berarti perjuangan hidup (struggle for life) dapat diatasi sehingga terbentuk masyarakat terbaik. Perjuangan hidup dan survival of the fittest adalah suatu wujud tenaga evolusi dalam masyarakat. Hal ini membuat manusia dalam masyarakatnya selaras dengan kehidupan politik, industri, dan sebagainya di sekitarnya. Di sini Spencer melihat kehidupan dalam masyarakat selalu mendorong anggotanya bersikap menyesuaikan diri dengan panggilan hidup yang lebih maju.
Peraturan negara harus menjaga agar supaya rakyat dan masyarakat dapat hidup merdeka dan memperjuangkan hidupnya. Spencer tidak setuju dengan peraturan yang melindungi pihak yang lemah, yang tidak mampu menyesuaikan diri terhadap kemajuan masyarakat. Spencer berpendapat bahwa pihak yang lemah hendaknya binasa saja atau harus berusaha belajar keterampilan dan keuletan sehingga nantinya yang akan tinggal hanya mereka yang terkuat (the fittest).
Spencer berpendapat bahwa orang-orang cakap dan bergairah (enerjik) yang akan mampu memenangkan perjuangan hidup dan berhasil, sedang orang yang malas dan lemah akan tersisih dengan sendirinya dan kurang berhasil dalam hidup. Kelangsungan hidup keturunan manusia lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan tenaga hidupnya. Kekuatan hidupnyalah yang mampu mengatasi kesukaran ujian hidup, termasuk kemampuannya menyesuaikan diri (berevolusi) dengan lingkungan fisik dan sosial yang selalu berubah dari waktu ke waktu.
Spencer berpendapat, suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antara bagian-bagiannya. Hal ini berarti ada organisme yang mempunyai fungsi yang lebih matang di antara bagian-bagian lain dari organisme sehingga dapat berintegrasi dengan lebih sempurna. Secara evolusioner, tahap organisme tersebut akan semakin sempurna sifatnya. Dengan demikian organisme mempunyai kriteria yang dapat diterapkan pada setiap masyarakat yaitu kompleksitas, diferensiasi, dan integrasi. Evolusi sosial dan perkembangan sosial pada dasarnya adalah pertambahan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dari keadaan homogen ke keadaan heterogen (Soekanto, 1990: 39-41).[17]
Dalam bukunya Principles of Sociology, Spencer berpendapat bahwa pada masyarakat industri yang telah terjadi diferensiasi dengan mantap, akan ada  stabilitas yang menuju pada keadaan hidup yang damai. Seperti juga Comte, Spencer berpendapat bahwa tujuan hidup setiap manusia adalah menyesuaikan diri dengan panggilan hidup dalam masyarakat sekitarnya yang selalu berevolusi menuju perbaikan dan kemajuan.
Pusat perhatian Spencer juga tertuju pada gerak yang dipandang sebagai suatu tenaga yang menggerakkan proses pemisahan (diferensiasi, membedabedakan) dan proses mengikat (integrasi, persatuan). Tenaga ini membawa kesamaan dan perpecahan dan ketidakpastian dalam evolusi sehingga membentuk kelompok, golongan, ras, suku bangsa, bangsa, dan negara. Evolusi terus berlanjut, ada yang menuju kesempurnaan, tetapi ada juga yang sebaliknya. Evolusi pada sosiologi mempunyai arti optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan untuk perbaikan hidupnya.
Seperti telah disinggung di atas, pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi pesatnya kemajuan ilmu biologi. Beberapa di antaranya adalah:
  1. Pelajaran tentang sifat keturunan (descension), Lamarck (1909) yang  menyatakan bahwa sifat manusia yang diturunkan kepada anak cucunya sangat dipengaruhi oleh tempat tinggal dan  sifat bangsa itu. Teori evolusi ini berdasarkan pendapat bahwa hewan yang bertulang punggung bisa menyempurnakan bentuk badannya berdasarkan kebutuhannya kepada keturunannya.
  2. Teori seleksi dari Darwin (1859) mengatakan bahwa alam akan membuang segala sesuatu yang tidak terpakai dan memperkuat segala sesuatu yang berguna, seperti yang terjadi pada binatang, yang kuat akan mampu bertahan hidup dan yang lemah akan binasa.
  3. Teori tentang penemuan sel. Tubuh hewan dan tumbuh-tumbuhan terdiri dari organisme kecil-kecil yang disebut sel. Sel ini mempunyai sifat dan bentuk yang sama, tetapi mampu mempengaruhi sifat binatang atau tumbuhan berdasarkan ciri yang terkuat pada sel tersebut.
Teori-teori Spencer sangat dipengaruhi oleh pelajaran tentang sifat keturunan Lamarck yang menyamakan masyarakat dengan suatu organisme, dengan sel-selnya, dan selanjutnya ia membandingkannya seperti itu. Pendapat tentang biologi mempengaruhi dunia filsafat, psikologi dan lain sebagainya sehingga terjalin pertalian yang erat antara ilmu pengetahuan itu dengan sosiologi.
Membandingkan masyarakat dengan organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detail pada semua masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada tiga kecenderungan perkembangan masyarakat dan organisme, yaitu:
1.      Pertumbuhan dalam ukurannya
2.      Meningkatnya kompleksitas struktur
3.      Diferensiasi fungsi.
Spencer berkeyakinan bahwa kehidupan masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang semakin baik. Karena itu, kehidupan masyarakat harus dibiarkan berkembang sendiri, lepas dari campur tangan yang mungkin akan memperburuk keadaan. Spencer menerima pandangan bahwa institusi sosial sebagaimana tumbuh-tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi secara progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Ia juga menerima sudut pandang Darwinian bahwa proses seleksi alamiah, “survival of the fittest”, juga terjadi dalam kehidupan sosial (istilah survival of the fittest justru diciptakan oleh Spencer beberapa tahun sebelum karya Darwin mengenai seleksi alam muncul). Jika tidak diganggu intervensi dari luar, individu yang layak akan bertahan hidup dan berkembang, sedangkan individu yang tak layak akhirnya punah. Spencer memusatkan perhatian pada individu, sedangkan Comte menekankan pada unsur yang lebih besar seperti keluarga.
Ritzer dan Goodman (2007) merangkum teori evolusi Spencer ke dalam dua perspektif. Pertama, teorinya berkaitan dengan peningkatan ukuran (size) masyarakat. Peningkatan ini menyebabkan diferensiasi fungsi yang dilakukannya. Kedua, masyarakat berubah melalui penggabungan. Makin lama makin menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan. Dia berbicara tentang gerak evolusioner dari masyarakat yang sederhana ke penggabungan dua kali lipat dan penggabungan tiga kali lipat.[18]
Di bagian lain, Spencer menawarkan teori evolusi dari masyarakat militan ke masyarakat industri. Pada mulanya, masyarakat militan dijelaskan sebagai masyarakat terstruktur guna melakukan perang, baik yang bersifat defensif maupun ofensif. Sejalan dengan tumbuhnya masyarakat industri, fungsi perang sebagai perubahan berakhir. Masyarakat industri didasarkan pada persahabatan, tidak egois, dan penghargaan terhadap prestasi.
Dalam  tulisannya mengenai etika dan politik, Spencer mengemukakan gagasan evolusi sosial yang lain. Di satu sisi ia memandang masyarakat berkembang menuju ke keadaan moral yang ideal atau sempurna. DI sisi lain ia menyatakan bahwa masyarakat yang paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannyalah yang akan bertahan hidup (survive), sedangkan masyarakat yang tak mampu menyesuaikan diri terpaksa menemui ajalnya. Hasil proses ini adalah peningkatan kemampuan menyesuaikan diri masyarakat secara keseluruhan.
Jadi, Spencer mengemukakan seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Mula-mula gagasannya menikmati sukses besar, tetapi kemudian ditolak selama beberapa tahun, dan baru belakangan ini hidup kembali dengan munculnya teori sosiologi neoevolusi
Spencer membedakan empat tahap evolusi masyarakat:

a.       Tahap penggandaan atau pertambahan
Baik tiap-tiap mahluk individual maupun tiap-tiap orde social dalam keseluruhannya selalu bertumbuh dan bertambah

b.      Tahap kompleksifikasi
Salah satu akibat proses pertambahan adalah makin rumitnya struktur organisme yang bersangkutan. Struktur keorganisasian makin lama makin kompleks.

c.        Tahap Pembagian atau Diferensiasi
Evolusi masyarakat juga menonjolkan pembagian tugas atau fungsi, yang semakin berbeda-beda. Pembagian kerja menghasilkan pelapisan social (Stratifikasi). Masyarakat menjadi terbagi kedalam kelas-kelas social.

d.      Tahap pengintegrasian
Dengan mengingat bahwa proses diferensiasi mengakibatkan bahaya perpecahan, maka kecenderungan negative ini perlu dibendung dan diimbangi oleh proses yang mempersatukan. Pengintegrasian ini juga merupakan tahap dalam proses evolusi, yang bersifat alami dan spontan-otomatis. Manusia sendiri tidak perlu mengambil inisiatif atau berbuat sesuatu untuk mencapai integrasi ini. Sebaiknya ia tinggal pasif saja, supaya hukum evolusi dengan sendirinya menghasilkan keadaan kerjasama yang seimbang itu. Proses pengintegrasian masyarakat berlangsung seperti halnya dengan proses pengintegrasian antara anggota-anggota badan fisik Indonesia.










C.    EMILE DURKHEIM
1.    Biografi Emile Durkheim
Sosiolog besar ini dilahirkan di Epinal suatu perkampungan kecil orang Yahudi di Bagian timur Prancis yang agak terpencil dari masyarakat luas pada tanggal 15 April 1858, ia disebut sosiolog Prancis pertama yang menempuh jenjang ilmu sosioloogi paling akademis. Beliau memperbaiki metode berpikir sosiologis yang tak hanya berdasar pemikiran-pemikiran logika filosofis namun sosiologi menjadi suatu ilmu pengetahuan yang benar apabila mengangkat gejala sosial sebagai fakta-fakta yang dapat di observasi.
“ A thing definite as anything that could be observed. Social phenomena, he said, must be treated as “things”, If Sosiology was to be  made a science.” Dan Durkheim pula dengan kukuh menolak interpretasi yang biologistik dan psikologistik terhadap masalah-masalah sosial. Itulah sebabnya Sorikin memasukkan Durkheim masuk kedalam aliran sosiologistik.
Dia lahir dalam keluarga agamis namun pada usia belasan tahun terhadap agama lebih akademis daripada teologis. Pada usia 21 tahun Durkheim di terima di Ecole Normale Superieure setelah sebelumnya gagal dalam ujian masuk. Di Universitas tersebut dia merupakan mahasiswa yang serius dan kritis, kemudian pemikiran Durkheim di pengaruhi oleh dua orang profesor di universitasnya itu (Fustel De Coulanges dan Emile Bouttroux). Setelah menamatkan pendidikan di Ecole Normale Superieure, Durkheim mengajar filsafat di salah satu sekolah menengah atas (Lycees Louis-Le-Grand) di Paris pada tahun 1882 sampai 1887. Kemudian masih pada tahun 1887 (29 tahun) di samping prestasinya sebagai pengajar dan pembuat artikel dia juga berhasil mencetuskan sosiologi sebagai disiplin ilmu yang sah dibidang akademik karena prestasinya itu dia dirgai dan diangkat sebagai ahli ilmu sosial di fakultas pendidikan dan fakultas ilmu sosial di universistas Bourdeaux.
Tahun 1893 Durkheim menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa perancis yaitu The Division Of Labour in Society dan tesisnya dalam bahasa latin tentang Montesqouieu. Kemudian tahun 1895 menerbitkan buku keduanya yaitu The Rules of Socological Method. Tahun 1896 diangkat menjadi profesor penuh untuk pertama kalinya di Prancis dalam bidang ilmu sosial.
Tahun 1897 menerbitkan buku ketiganya yang berjudul Suicide (Lesucide) dan mendirikan Socologique (jurnal ilmiah pertama tentang sosiologi). Tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne dan tahun 1906 dipormosikan sebagai profesor penuh dalam ilmu pendidikan. Enam tahun kemudian (1912) menerbitkan karya keempatnya yaitu The Elementary Forms of Religious Life. Satu tahun setelahnya (1913) kedudukannya diubah menjadi profesor ilmu pendidikan dan sosiologi. Pada tahun ini sosiologi resmi didirikan dalam lembaga pendidikan yang sangat terhormat di Prancis. Tahun 1915 Durkheim mendapat musibah, putranya (Andre) cedera parah dan meninggal.
Durkheim mengenal akar-akar sosiologi dari pemikiran filsuf kuno seperti Plato dan Aristoteles, dan filsuf Perancis Montesquieu dan Condorcet, Durkheim memandang filsuf terdahulu belum melangkah jauh sebeab mereka belum mencoba menciptakan disiplin baru
            Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Rusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis.
            Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik.
            Minat Durkheim pada sosialisme dijadikan bukti bahwa ia bukan seorang konservatif namun sosialisme yang berbeda dengan minat marx dan pengikutnya. Durhkeim menyebut Marxisme sebagai serangkaian “hipotesis yang dapat diperdebatkan” dan ketinggalan zaman. Bagi Durkheim sosialisme sangat berbeda dengan pada umumnya karena baginya sosialisme tak lain adalah suatu paham dan keadaan yang merepresentasikan sistem tempat dimana prinsip moral yang diungkap oleh sosiologi ilmiah harus diberlakukan.
            Pemikiran Durkeim juga berpengaruh pada bidang selain sosiologi seperti antropologi, sejarah, linguistik, dan ironisnya lewat lingkaran ini dia menyerang disiplin yang jadi musuh bebuyutan psikologi.
            Durhkeim wafat pada 15 November 1917. Ia disegani dikalangan intelektual Prancis, namun pemikirannya itu baru berpengaruh signifikan dalam sosiologi di Amerika setelah Talcott Parson menerbitkan buku berjudul The Structure of Social Action.
2.    Karya-Karya Emile Durkheim
Empat buah buku ditulis durkheim untuk mengukuhkan dirinya sebagai sosiolog besar, buku pertama ialah disertasi doktornya dari Unversitas Sorbone berjudul One the Division of Social Labor yang diterbitkan tahun 1893, Buku kedua berjudul The Rules of Sociological Method terbit tahun 1895, buku ketiga berjudul Suicide terbit tahun 1897, dan buku keempat berjudul The Elementary forms of Religious life terbit tahun 1912.
3.    Teori Yang Dikemukakan
A.    Fakta sosial
Untuk memisahkan sosiologi dari filsafat dan memberinya kejelasan serta identitas tersendiri, Durkheim (1895/1982) menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi haruslah berupa studi atas fakta sosial (lihat Gane, 1988; Gilbert,1994; dan edisi spesial sociological perspectives 1995). Secara singkat, fakta sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di luar dan memaksa aktor.
Hal yang penting dalam pemisahan sosiologi dari filsafat adalah ide bahwa fakta sosial dianggap sebagai “sesuatu” (S. Jones, 1996) dan dipelajari secara empiris. Artinya, bahwa fakta sosial mesti dipelajari dengan perolehan data dari luar pikiran kita melalui observasi dan eksperimen.
Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual. (Durkheim, 1895/111982: 13).
Hal itu menunjukkan bahwa Durkheim memberikan definisi agar sosiologi terpisah dari ilmu filsafat dan psikologi.
Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa direduksi kepada individu, namun mesti di pelajari sebagai realitas mereka. Durkheim menyebut fakta sosial dengan  istilah latin sui generis, yang berarti “unik”. Durkheim menggunakan istilah ini untuk menjelaskan bahwa fakta sosial memiliki karakter unik yang tidak bisa direduksi menjadi sebatas kesadaran individual. Jika fakta sosial dianggap bisa dijelaskan dengan merujuk pada individu, maka sosiologi akan tereduksi menjadi psikologi.
            Durkheim sendiri memberikan beberapa contoh tentang fakta sosial , termasuk aturan legal, beban moral, dan kesepakatan sosial. Dia juga memasukan bahasa sebagai fakta sosial, dan menjadikannya contoh yang paling mudah dipahami. Pertama karenakan bahasa adalah “sesuatu” yang mesti dipelajari secara empiris. Kedua bahasa adalah sesuatu yang berada di luar individu. Meskipun individu menggunakan bahasa, namun bahasa tidak dapat didefinisikan atau diciptakan oleh individu. Ketiga, bahasa memaksa individu. Bahasa dapat membuat sesuatu itu sulit dikatakan. Terakhir, perubahan dalam bahasa dapat dipelajari dengan fakta sosial lain dan tidak bisa hanya keinginan individu saja.
            Sebagian sosiologo berpendapat bahwa Durhkeim terlalu mengambil posisi yang ekstrem dalam hal ini. sebab ia terlalu membatasi sosiologi hanya pada fakta sosial saja. Padahal ada banyak cabang-cabang dalam sosiologi.
Fakta Sosial Material dan Nonmaterial
            Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial material dan non material. Fakta sosial material seperti gaya arsitektur bentuk teknologi, dan hukum dan perundang-undangan, relatif mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Lebih penting lagi, fakta sosial material tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berrada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nin material.
            Studi Durkheim yang paling penting dan inti dari sosiologi terletak pada studi fakta sosial nonmaterial. Durkheim mengungkapkan : “tidak semua kesadaran sosial mencapai ... eksternalisasi dan materialisasi” (1897/1951: 315). Apa yang saat ini disebut norma dan nilai, atau budaya oleh sosiolog secara umum (Alexander, 1988c) adalah contoh yang tepat untuk apa yang disebut Durkheim dengan fakta sosial nonmaterial. Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nn material memiliki batasan tertentu, ia ada dalam individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri (Durkheim, (1912) 1965: 471). Dalam karya yang sama durkheim menulis: pertama, bahwa “hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia; mereka adalah produk aktivitas manusia” dan kedua Masyarakat bukan hanya semata-mata kumpulan sejumlah individu.masyarakat akan hanya bisa dipahami dengan interaksi bukan individu. Interaksi nonmaterial juga memiliki tingkatan-tingkatan realitasnya sendiri. Inilah yang disebut “realisme relasional” (Alpert, 1939).
            Durkheim melihat fakta sosial berada di sepanjang kontinum hal-hal yang material. Durkheim menyebut ini dengan fakta morfologis, dan semua itu termasuk hal yang paling penting dalam buku pertamanya, The Division of Labor.
Jenis-jenis Fakta Sosial Nonmaterial         
a.       Moralitas.
Persperktif durkheim mengenai moralitas: pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada diluar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya pada kesehatan moral kesehatan moral masyarakat modern.
           Dalam pandangan Durkheim, orang selalu terancam kehilangan ikatan moral, dan hal ini dinamakan “patologi”. hal tersebut penting bagi Durkheim karena tanpa itu individu akan diperbudak oleh nafsu yang tidak pernah puas. Seseorang akan didorong oleh nafsu mereka ke dalam kegilaan untuk mencari kepuasan namun setiap kepuasan akan menuntut lebih dan lebih. Jika masyarakat tidak membatasi kita maka kita akan menjadi budak kesenagan yang selalu meminta lebih. Sehingga Durkheim memegang pandangan bahwa individu membutuhkan moralitas dan kontrol dari luar untuk bebas. Pandangan hasrat yang tidak pernah puas ini ada pada setiap manusia adalah inti dari sosiologi Durkheim.
b.      Kesadaran kolektif.
           Durkheim mencoba mewujudkan perhatiannya pada moralitas dengan berbagai macam cara dan konsep. Usaha awalnya untuk menaangani persoalan ini adalah dengan mengembangkan ide tentang kesadaran kolektif. Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut: seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular.
           Dari hal itu jelas bahwa Durkheim berpendapat kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Hal yang lain bahwa kesadaran kolektif sebagai sesuatu yang terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial. Hal terakhir dari pendapatnya bahwa kesadaran kolektif baru bisa “terwujud’ melalui kesadaran-kesadaran indivisual.
           Duekheim menggunakan konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama lebih daripada masyarakat modern.
           Ada 2 sifat kesadaran kolektif menurutnya yaitu:
1.      Sifat yang exterior
Yaitu kesadaran kolektif berada diluar individu manusia dan yang masuk kedalam individu tersebut akan perwujudannya sebagai aturan-aturan moral, agama, aturan baik buruk, luhur dan mulia, dan sebagainya. Aturan-aturan tersebut akan tetap ada sekalipun individu-individiu yang bersangkutan sudah tidak ada lagi.
2.      Sifat yang constraint
Kesadaran kolektif ini memiliki daya memaksa terhadap individu-individu manusia, pelanggaran yang dilakukan oleh anggota teersebut terhadap kesadaran kolektif ini akan mengakibatkan adanya sanksi hukum.

c.       Representasi Kolektif
           Kesadaran kolektif tak dapat dipelajari secara langsung karena sesuatu yang luas dan gagasan yang tidak memiliki bentuk yang tetap. Sehingga perlu didekati dengan relasi fakta sosial material. Contoh dari representasi kolektif ialah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semua yang tersebut itu adalah cara-cara dimana masyarakat merefleksikan dirinya.
           Representasi kolektif tidak dapat direduksi kepada individu-individu karena ia muncul dari interaksi sosial dan hanya dapat dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau praktek seperti ritual.
Contoh dari representasi ialah mengenai perubahan yang dialami Abraham Lincoln dalam menanggapi fakta-fakta sosial lain. Ia mengalami kejayaan yang memuncak dan ditahun lain ia memperlihatkan kemerosotan martabatnya.
d.      Arus sosial
Sebagian besar fakta sosial yang dirujuk emile Drukheim sering diasosiasikan dengan organisasi sosial. Namun dia menjelaskan bahwa fakta sosial tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas”. Durkheim menyebutnya arus sosial. Dia mencontohkan dengan “luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan”. Fakta-fakta sosial nonmaterial bahkan bisa memengaruhi institusi yang paling kuat sekalipun. Hal ini dicontohkan pada konser rock yang terjadi di Erropa timur. Konser rock merupakan tempat muncul dan berseminya standar buadaya, fashion. Dan gejala perilaku yang lepas kntrol partai. Dengan kata lain kepemimpinan politik takut pada konser rock karena berpotensi menekan perasaa  individu dari alienasi menjadi motivasi keterasingan sebagai fakta sosial.
e.       Pikiran kelompok
Arus sosial dapat dilihat sebagai serangkaian makna yang disepakati dan dimiliki bersama oleh seluruh anggota kelompok. Karena itu arus sosial tidak bisa dijelaskan berdasarkan suatu pikiran individual. Arus sosial juga tidak bisa dijelaskan secara intersubjektif yaitu berdasarkan interaksi antar individu. Arus sosial hanya akan tampak pada level interaksi bukan individu.
           Kenyataannya ada kesamaan yang kuat antara teori fakta sosial  dari Durkheim dengan teori mutakhir tentang hubungan otak dengan pikiran individu. Keduanya sama-sama menggunakan gagasan bahwa sistem yang kompleks akan terus berubahdan menunjukkan ciri-ciri baru.
Durkheim juga memiliki pemahaman modern tentang fakta sosial nonmaterial yang mengandung norma, nilai, budaya, dan berbagai fenomena psikologis sosial bersama.

B.     Teori Bunuh Diri (Suicide)
Emile Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupakan fenomena kongkrit dan sfesifik, dimana tersedia data yang bagus cara komperatif .akan tetapi , alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin sosiologi . Dia melakukan penelitian tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa . Secara statistik hasil dari data-data yang dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa gejala-gejala /psikologi sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri . Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan srana penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat . dalam bukunya yaqng verjudul suicide di kemukakan dengan jelas hubungan integrasi sosial terhadap kecendrungan melakukan bunuh diri. Durkheim dengan tegas menolak anggapan lama tentang penyebab bunuh diri disebabkan oleh penyakit kejiwaan sebagaimana teori-teori psikologi mengatakannya. Dia juga menolak anggapan sarjana perancis gabriel tarde yang menyatakan bahwa bunuh diri  akibat dari imitasi atau peniruan. Dia juga menolak teori iklim yang menghubungkan bunuh diri dengan alkoholisme dan dia juga menolak orang bunuh diri karena kemiskinan.
 dengan angka-angka statistik dari hasil penelitiannya di banyak negara ternyata kenyataan orang-orang dari lapisan atas ( kaya ) justru lebih tinggi tingkat bunuh dirinya di bandingkan dengan orang-orang di lapisan bawah atau miskin ( miskin ). Hal itu ditunjukkan dengan negara miskin di eropa seperti italy dan spanyol , justru memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah di bandingkan dengan negera-negara eropa yang lebih makmur seperti perancis, jerman dan negara-negara skandinavia, demikian juga di negara-negara tersebut kels-kelas sosial di atas kota-kota justru lebih besar angka bunuh dirinya dibandingkan kelas bawah.
Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat :
a.       Bunuh diri dalam kesatuan agama
Dari data yang dikumpulkan Durkheim menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di negara-negara protestan dibandingkan dengan penganut agama katolik atau lainnya . .Penyebabnya terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh masing-masing agama tersebut kepada para penganutnya . penganut agama protestan  memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk menacari sendiri hakekat ajaran kitab suci, sedangkan dengan agama khatolik tafsir agama lebih ditentukan oleh pater ( pemuka-pemuka gereja ), sebaliknya agama protestan menolak ajaran-ajaran tradisional sebagaimana ditafsirkan oleh pemuka-pemuka gereja.akibatnya ialah bahg wa kepercayaan bersama dari orang-orang protestan menjadi berkurang sehingga timbul suatu keadaan di mana penganut ajaran protestan tidak lagi menganut ajaran-ajaran atau tafsir yang sama sehingga sekarang ini terdapat banyak sekte-sekte gereja protestan. Atau dengan kata lain ada perbedaan derajat integrasi sosial di antara penganut agama khatolik. Integrasi yang rendah dari agama protestan itu menyebabkan angka laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar kecenderungannya melakukan bunuh diri dibhandingkan penganut ajaran khatolik.
b.      Bunuh diri dalam kesatuan keluarga
Dari penelitian Durkheim disimpulkan bahwa semakin kecil jumlah anggota dalam suatu keluarga , maka akan semakin kecil pula einginan untuk hidup . Kesatuan sosial yang semakin besar mengikat orang dalam kegiatan-kegiatan sosial diantara anggota-anggota kesatuan tersebut .
           
c.       Bunuh diri dalam Kesatuan Politik .
Dari data ,yang ber hasil dihimpun , Durkheim menyimpulkan bahwa dalam situasi perang , golongan militer lebih terintegrasi dengan baik , dibandingkan dalam keadaan damai . sebaliknya dengan masyarakat sipil . Kemudian data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil dari masa revolusi atau pergolakan politik , dibandingkan dengan masa tidaj terjadi pergolakan politik .
Durkheim membagi tipe  bunuh diri ke dalam 4 macam :
1)      Bunuh diri Egoistis
Tingginya angka bunuh diri egoitis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok dimana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas . Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat , dan masyarakat bukan pula bagian dari individu . Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas , dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri . Misalnya , pada masyarakat yang disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang melahirkan situasi politik didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralitas di lihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan ketidakmaknaan hidup, begitu sebaliknya. Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.
2)      Bunuh Diri Altruistis
Terjadi ketika intergrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah dapat di katakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di jonestown, Guyana pada tahun 1978. Contoh lain bunuh diri di jepang (harakiri).
Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur seseorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat di pakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.

3)      Bunuh Diri Anomic
Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi normal lama tidak berlaku lagi sementara norma baru di kembangkan (tidak ada pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenagah kerjanya kehilangan perkerjaan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan.
Contoh lainnya seperti booming ekonomi yaitu bahwa kesuksesan yang tiba-tiba individu menjauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri.
4)      Bunuh Diri Fatalistis
Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh: perbudakan.
C.    Teori tentang Agama (The Elemtary Forms of Religious Life).
Dalam teori ini Durkheim mengulas sifat-sifat, sumber bentuk-bentuk, akibat, dan variasi agama dari sudut pandang sosiologistis. Agama menurut Durkheim merupakan ”a unified system of belief and practices relative to sacret things”, dan selanjutnya “ that is to say, things set apart and forbidden – belief and practices which unite into one single moral community called church all those who adhere to them.” Agama menurut Durkheim berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawi.
Dasar dari pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari collective consciouness sekalipun selalu ada perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanya lah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat).
Kesimpulannya, agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya yang ideal, agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciouness tersebut semakin lemah kembali.











D.    MAX WEBER
1.      Biografi Max Weber
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman pada tanggal 21 April 1864, dari keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki posisi politik yang relatif penting. Selain itu, Weber senior adalah sesorang yang menikmati dunia, dan di dalam banyak hal, ia sangat berlawanan dengan istrinya. Ibu Weber adalah seorang Calvinis yang sangat religius, seorang perempuan yang berusaha menjalani kehidupan asketis yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan duniawi yang didambakan dalam oleh suaminya.
Pada usia 18 tahun, Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di universitas Heidelberg. Disana ia berkembang secara sosial, paling tidak sebagian karena banyaknya bir yang ia konsumsi bersama teman-temannya. Selang 3 tahun, Weber meninggalkan Heidelberg untuk menjalani wajib militer, dan pada tahun 1884 kembali ke Berlin dan ke rumah orang tuanya untuk mengambil kuliah di universitas Berlin. Ia tetap disains selama hampir 8 tahun kemudian ketika ia menyelesaikan studinya, meraih gelar doktor, menjadi pengacara dan mulai mengajar di universitas Berlin. Dalam proses ini, minatnya lebih banyak beralih ke persoalan-persoalan sepanjang masa ekonomi, sejarah, dan sosiologi.
Pada tahun 1896, giatnya dalam bekerja membawanya dalam posisi sebagai profesor ekonomi di Heidelberg namun pada tahun 1897 ketika karier akademik berkembang, ayahnya meninggal dunia setelah bertengkar hebat dengannya. Tidak lama setelah itu, Weber mulai menunjukkan gejala yang membawanya pada keruntuhan mental. Seringkali tidak dapat tidur atau bekerja, Weber mengahabiskan waktu kurang lebih 6 sampai 7 tahun kemudian dalam kondisi yang hampir mati suri.
Pada tahun 1904 dan 1905, ia menerbitkan salah satu karya terkenalnya The Protestant Ethic And The Spirit Of Capitalism. Dalam karya ini Weber menyatakan kesalehan sang ibu yang diwarisinya pada level akademik. Weber banyak menghabiskan waktu untuk mempelejari agama, kendati secara pribadi ia tidak rseligius. Pada tahun 1904 weber mampu menghasilkan beberapa karya pentingnya. Pada tahun-tahun itu Weber menerbitkan studinya tentang agama-agama dunia dalam perspektif sejarah dunia (misalnya China, India dan Yahudi kuno). Ketika ia meninggal (14 juni 1920) ia tengah mengerjakan karya terpentingnya Econami and society. Meskipun bukunya diterbitkan dan kemudian diterjemahkan kedalam banyak bahasa, buku ini tidak selesai.
Selain menghasilkan banyak tulisan ketika itu, Weber melakukan sejumlah aktivitas lain. Ia membantu mendirikan masyarakat sosiologi Jerman pada tahun 1910. Rumahnya menjadi pusat bagi banyak intelektual termasuk sosiolog seperti George Simmel, Robert Michels, dan saudaranya Albert Webber, maupun filsuf kritik sastra George Lukacs.
Dalam kehidupan Weber, dan lebih penting lagi dalam karya-karyanya, terdapat ketegangan antara pikiran birokratis sebagaimana ditampilkan oleh sang ayah, dengan religiusitas ibunya. Ketegangan yang tak terpecahkan itu merasuk kedalam karya Weber dan dalam kehidupan pribadinya.
2.      Karya-Karya Max Weber
Beberapa karya Weber yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris antara lain:
a.       The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1930)
b.      From Max Weber: Essays in Sociology (1947)
c.       The Theory of Social and Economic Organization (terjemahan Talcott Parsons atas Economy and Society volume 1) (1947)
d.      Max Weber on the Methodology of the Social Sciences (1949)
e.       General Economic History - The Social Causes of the Decay of Ancient Civilizations (1950)
f.       The Religion of China: Confucianism and Taoism (1951)
g.      Ancient Judaism (1952)
h.      Max Weber on Law in Economy and Society (1954)
i.        The City (1958)
j.        The Religion of India: The Sociology of Hinduism and Buddhism (1958)
k.      Rational and Social Foundations of Music (1958)
l.        The Three Types of Legitimate Rule (1958)
m.    Basic Concepts in Sociology (1962)
n.      The Agrarian Sociology of Ancient Civilizations (1976)
o.      Critique of Stammler (1977)
p.      Economy and Society : An Outline of Interpretive Sociology (1978), On Charisma and Institution Building (1994)
q.      Weber: Political Writings (1994)
r.        The Russian Revolutions (1995) dan
s.        Essays in Economic Sociology (1999). Selain yang disebutkan tadi masih banyak karya Weber yang lain.

3.      Teori Yang Dikemukakan
Weber memisahkan empat tindakan sosial di dalam sosiologinya, yaitu yang disebut dengan :
a)      Zweck rational
yaitu suatu tindakan sosial yang ditujukkan untuk mencapai tujuan semaksimal mungkin dengan menggunakan dana daya seminimal mungkin.
b)      Wert rasional
yaitu tindakan sosial yang rasional, namun tetap berpeganganpada nilai-nilai absolute teretentu. Nilai-nilai ini bisa nilai etis, estetis, keagamaan atau nilai-nilai lain.
c)      Effectual
yaitu tindakan sosial yang timbul karena dorongan atau motivasi yang sifatnya emosional. Contoh tindakan effectual, ledakan kemarahan seseorang atau ungkapan rasa cinta dan kasihan.
d)      Tradisional
tindakan seseorang yang didorong dan berorientasi kepada tindakan masa lampau. Tradisi di dalam pengertian ini adalah suatu kebiasaan bertindak yang berkembang di masa lampau.
Keempat tindakan sosial ini yang menurut Weber akan mempengaruhi pola-pola hubungan sosial serta struktur sosial masyarakatnya.
Ø  Wewenang
Marx weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang di dalam hubungan manusia yang menyangkut juga kepada hubungan kekuasaan. Wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota masyarakat. Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemmapuan yang dimiliki seseorang  untuk mempengaruhi yang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang formal.
Weber mengemukakan jenis wewenang yang disebutnya rational-legal authority sebagai bentuk hieraki wewenang yang berkembang di dalam kehidupan masyarakt modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Organisasi-organisasi modern yang bersifat politis adalah tipe dari wewenang di mana keabsahan si pemegang kekuasaan untuk memberikan perintah berdasar kepada peraturan yang disepakati bersama. Eabsahan untuk membuat peraturan dan menjalankannya selalu berdasarkan konstitusi yang ditafsirkan secara resmi. Para “official” adalah pejabat adalah pemegang kekuasaan untuk memberi perintah tetapi dia tidak pernah menggunakan kekuasaan tersebut sebagai hak pribadinya, melainkan dia menggunakan sebagai suatu institusi impersonal.
Disamping jenis wewenang yang bersifat rational-legal, terdapat juga jenis wewenang yang bersifat tradisional, yaitu jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat tradisional. Wewenag jenis ini mengambil keabsahannya dari atas dasar tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibedakan ke dalam jenis wewenang yang disebut dengan patriarkhalisme dan patriomonalisme. Patriakhalisme adalah jenis wewenang di mana kekuasaan berdasarkan senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Contoh dari pathriakhalisme misalnya, adalah wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap anggota keluarga yang lebih muda, dll. Sedangkan patriomonalisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat-kerabatnya atau dengan orang-orang terdekat yang memiliki loyalitas pribadi kepadanya. Si pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan.
Ciri khas dari wewenang baik patriakhalisme maupun patrimonalisme adalah adanya system norma yang dianggap keramat yang tidak dapat di ganggu gugat. Si pemegang kekuasaan dalam merumuskan keputusan-keputusannya atas dasar pertimbangan pribadinya, dan bukan atas dasar pertimbangan ‘fungsinya’.
Weber juga memperkenalkan jenis wewenang lain yaitu wewenang kharismatik. Wewenang ini dimiliki seseorang karena kualitas yang ‘luar biasa’ yang dimilikinya. Wewenang kharismatis adalah penguasaan atas diri orang-orang, dimana pihak si tertakluk menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut.
Masalah fundamental dalam studi weber sesungguhnya mempersoalkan hubungan antara gejala agama dengan gejala ekonomi. Dia mempersoalkan hal ini mulai dari mengajukan beberapa pertanyaan dasar tentang : Apakah sesungguhnya gejala ekonomi dipengaruhi oleh gejala agama?
Jawaban yang diajukan weber terhadap pertanyaan demikian, bahwa antara gejala agama dengan gejala ekonomi sesungguhnya memiliki ketergantungan yang timbal balik. Weber mengambil factor agama sebagai salah satu variable dan mencoba menunjukkan pengaruh factor agama terhadap gejala ekonomi dan gejala-gejala sosial lainnya.
Marx weber memusatkan perhatiannya pada ‘etika ekonomi dari suatu agama’ atau apa yang disebutnya dengan wirtschafsethik untuk menemukan pengaruh agama terhadap kehidupan ekonomis. ‘Etika ekonomi dari suatu agama’ bukanlah dogma-dogma agama yang teologis tetapi sebagai bentuk totalitas dari bentuk-bentuk praktis pedoman tingkah laku yang didorong dan dikehendaki oleh agama terhadap para pemeluknya.
Demikianlah, weber memusatkan perhatiannya terhadap factor religi, dan mempelajarinya dalam enam agama yaitu Confusianisme, Hindu, Budha, Kristen, Islam, Yahudi yang kesemuanya dari agama-agama itu dipelajari wirtschaftsethik atau etika ekonomi dari maisng-masing agama tersebut, dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya terhadap organisasi dan tingkah laku dari para pemeluk agama-agama tersebut.
Ø  Verstehen
Menurut Max Weber, sosiologi adalah ilmu yang memiliki kelebihan daripadailmuan alam. Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan sosiolog untuk memahami fenomena sosial, sementara ilmuan alam tidak dapat memperoleh pemahaman serupa tentang perilaku atom atau ikatan kimia. Kata pemahaman dalam bahasa Jerman adalah verstehen. Pemakaian istilah verstehen ini secara khusus oleh Weber dalam penelitian historis adalah sumbangan yang paling banyak dikenal, dan paling kontroversial, terhadap metodologi sosiologi kontemporer. Ketika kita mengerti apa yang dimaksud Weber dengan kata verstehen, kita akan menggarisbawahi beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber, muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Seperti dikemukakan Thomas Burger, Weber tidak utuh dan konsisten dengan pernyataan metodologisnya. Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar mengulangi gagasan-gagasannya yang pada zamannya terkenal di kalangan sejarawan Jerman. Terlebih lagi, seperti ditegaskan diatas, Weber tidak terlalu memikirkan refleksi metodologis.
Pemikiran Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal dengan hermeneutika. Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Weber dan lainnya berusaha memperluas gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman kehidupan sosial : memahami aktor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia. Satu kesalahpahaman yang sering terjadi menyangkut konsep verstehen  adalah bahwa dia dipahami sekedar sebagai penggunaan intuisi, irasional, dan subyektif. Namun secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen hanya melibatkan intuisi, keterlibatan berdasarkan simpati, atau empati. Baginya, verstehen melibatkan penelitian sistematis dan ketat dan bukannya hanya sekedar merasakan teks atau fenomena sosial. Dengan kata lain, bagi Weber verstehen adalah prosedur studi yang rasional. Sejumlah orang menafsirkan verstehen, pernyataan-pernyataan Weber, tampaknya terbukti kuat dari sisi penafsiran level individu terhadap verstehen. Namun sejumlah orang juga menafsirkan bahwa verstehen yang dinyatakan oleh Weber adalah sebagai teknik yang bertujuan untuk memahami kebudayaan. Seiring dengan hal tersebut, W.G. Runciman (1972) dan Murray Weax (1967) melihat verstehen sebagai alat untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa tertentu.
 Max Weber juga memasukkan problem pemahaman dalam pendekatan sosiologisnya, yang sebagaimana cenderung ia tekankan adalah salah satu tipe sosiologis dari sekian kemungkinan lain. Karena itulah ia menyebut perspektifnya sebagai sosiologi interpretatif atau pemahaman. Menjadi ciri khas rasional dan positivisnya bahwa ia mentransformasikan konsep tentang pemahaman. Meski begitu baginya pemahaman tetap merupakan sebuah pendekatan unik terhadap moral atau ilmu-ilmu budaya, yang lebih berurusan dengan manusia ketimbang dengan binatang atau kehidupan non hayati lainnya. Manusia bisa memahami atau berusaha memahami niatnya sendiri melalui instropeksi, dan ia bisa menginterpretasikan perbuatan orang lain sehubungan dengan niatan yang mereka akui atau diduga mereka punyai.
Dengan kata lain verstehen adalah suatu metode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa sosial dan historis. Pendekatan ini bertolak dari gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya.
Namun dalam berjalannya waktu teori ini banyak mendapatkan kritikan.Kritik yang berkaitan mengenai metode verstehen menganggap Weber terperangkap di antara dua persoalan terkait dengan verstehen ini. Di satu sisi, verstehen tidak bisa semata – mata berarti intuisi subjektif karena demikian, maka verstehen tidak akan ilmiah. Di sisi lain, sosiolog tidak dapat begitu saja menyatakan makna objektif fenomena sosial. Weber menandaskan bahwa metode ini terletak di antara dua pilihan, tapi sayangnya dia tidak pernah menjelaskan bagaimana itu bisa terjadi.

Ø  Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme
            Esay Weber yang sangat menggemparkan itu berjudul : The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism yang sejak dituliskannya, hingga saat ini telah menjadi bahan pergunjingan yang kontroversial bagi kehidupan ilmiah yang tak habis-habisnya.
            Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan Kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barang kali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antara tingkah laku agama dan ekonomi itu, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, dimana pertumbuhan Kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan kegoncangan-kegoncangan hebat di lapangan kehidudan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perjembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan sedemikian itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang memilki modal dan yang dengan modal sedemikian itu lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama yang disebutnya kau borjuis itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak digunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.
Pada hakekatnya Weber tidak berselisih pendapat dengan Marx dalam hal ini, terutama tentang ciri-ciri yang menandai pertumbuhan Kapitalisme modern itu.
Adapun karakteristik dari Spirit Kapitalisme modern menurut Weber adalah sebagai berikut:
1.      Adanya usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola secara rasional di atas landasan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan berkembangnya pemilikan/kekayaan priadi.
2.      Berkembangya produksi untuk pasar.
3.      Produksi untuk masa dan melalui massa.
4.      Produksi untuk uang.
5.      Adanya Anthusiasme, etos dan efisiensi yang maksimal yang menuntut pengabdian manusia kepada penggilan kerja.
Kerja adalah merupakan suatu tujuan pribadi dari setia orang, kerja tidak dipandang sebagai kegiatan yang insidental melainkan sebagai sesuatu yang melekat di dalam eksistensi hidup manusia (hidup sendiri itu kerja). Masyarakat kapitalis memandang manusia terutama sebagai pekerja dan tidak perduli apapun yang menjadi pekerjaan mereka. Dan inilah yang disebut dengan vocational ethics yang merupakan tingkah laku yang menonjol dari Sprit Kapitalisme modern. Mereka yang miskin  vocational ethicsnya akan mengalami keuuhan, dan mereka yanng memiliki vocational ethicsitu dengan baik akan berhasi; meningkatkan prestasi hidupnya.
Selain berbagai faktor di atas, perlu ditambahkan sejumlah elemen-elemen ekonomi kapitalis yaitu :
1.      Di satu pihak berkembangnya rasionalisme, utilitarianisme, rangsangan untuk berinisiatif dan menemukan hal-hal baru melalui berbagai sarana yang mungkin, dan di lain pihak.
2.      Terjadinya reduksi (penyusutan atau penyederhanaan) besar-besaran daripada tradisionalisme di dalam hal yang dipandang tidak efisien, kuno dan bersifat tahayul, irrasional dan segala sesuatu yang tidak sempurna dipandang dari sudut metoda-metoda rasional.
Semua tingkah laku ini dianggap sebagai suatu type yang ideal dari karakteristik Kapitalisme modern. Dan sesungguhnya tingkah laku ideal yang didambakan berbeda dengan bentuk-bentuk Kapitalisme kuno dan bahkan Kapitalisme dalam abad pertengahan. Spirit dan tingkah laku yang dicitrakan adalah gejala khusus dari masyarakat barat yang modern. Dan semua elemen-elemen di atas kemudian menyatakan diri di dalam masyarakat kapitalis dalam berbagai bentuk dan kondisi tertentu seperti :
1.      Rational capital accounting and business management (perhitungan modal dan pengelolaan usaha secara rasional).
2.      Appropriation of all means of production (pengerahan segala sarana produksi secara tepat guna).
3.      Rational technique of production (penggunaan teknik-teknik produksi rasional).
4.      Rational law (hukum rasional).
5.      Free labor (adanya tenaga kerja yang bebas).
6.      Commercializtion and marketing of the products of labor (komersialisasi dan pemasaran hasil-hasil produksi dan tenaga kerja).
Selanjutnya Weber mempersoalkan bahwa kondisi-kondisi ini hanya dapat dimungkinkan terwujud apabila manusia terlebih dahulu memiliki sejumlah karakteristik psikologis tertentu. Karakteristik psikologis ini terlebih dahulu haruslah dianut oleh sejumlah orang yang memiliki lebih dahulu Etika Kapitalisme sebelum dia menjadi seorang kapitalis. Dan karakteristik psikologis tertentu itu menurut Weber tercermin di dalam berbagai citra yang merupakan bentuk-bentuk idela yang tercermin di dalam berbagai ungkapan atau semboyan-semboyan seperti : Time is Money, Credit is Money; Money grows money; “Honesty is the best polocy”; Carefull accounting is necessary for any bussiness, And orderly conduct and honesty, Diligence, Efficiency, Truth, Sinceriing and integrity are necessary for sucesss in any field and in the field of business too.
Sekarang, kata Weber, persoalannya adalah kekuatan macam apakah sesungguhnya yang telah menyebabkan terjadinya transformasi ummat manusia dan tingkah laku itu? Dan Weber mengajukan jawab:
“ Bahwa kapitallisme (barat) modern adalah bersumber di dalam agama Protestan, yang hal itu merupakan Wirtschaftsethik. Spirit Kapitalisme modern adalah Protestanisme, yaitu merupakan aturan-aturan agama Protestan tentang watak dan perilaku (Rules of conduct) penganut-penganutnya di dalam kehidupan sehari-hari”.
       Spirit Kapitalisme lahir sebelum Etika Protestan dan Kapitalisme modern lahir. Dan Spirit itu terolah nyata di dalam kehidupan agama Protestan sehari-hari. Dan inilah yang merupakan catatan Weber sebagai contoh bagaimana suatu organisasi ekonomi didahului dan diprasyaratkan (conitioned) oleh faktor-faktor ideologi (dalam hal ini ideologi agama Protestan). Bagaimana Weber membuktikan pendapatnya ini?
       Weber mengajukan pembuktian secara analitis dengan melakukan penelitian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran Protestan sebagaimana diajarkan oleh Luther terutama ajaran Calvin dan juga berbagai ajaran Protestan lainnya. Dari hasil penelitiannya yang mendalam tentang ajaran-ajaran Protestan ini, Weber menunjukan bahwa Spirit Protestan di dalam etika praktis sehari-hari, identik dengan Spirit Kapitalisme modern. Menurut Weber, Etika Protestan mewujudkan diri sebagai suatu pengertian tertentu tentang Tuhan, dimana Tuhan dianggap sebagai Yang Maha Esa, Maha Pemcipta dan Penguasa dunia.
       Akibat konsepsi mengenai Tuhan, maka penganut agama Protestan menganggap kesenangan merupakan sesuatu yang tidak baik, sebaliknya untuk mengagungkan Tuhan orang harus berhemat. Semangat Protestan menurut Weber identik dengan semangat/Spirit Kapitalisme modern yang pada pokoknya menganggap bahwa bekerja keras merupakan calling atau suatu panggilan suci bagi kehiduan manusia. Berlaku hemat dengan cara menggunakan hasil kerjanya tidak untuk bersenang-senang/berfoya-foya maupun untuk upacara-upacara keagamaan. Dunia harus dipelajari secara ilmiah, rasional, hal ini terjadi karena Tuhan sesungguhnya tidak dapat dibujuk untuk mengubah nasib manusia. Spirit Protestan juga menganut paham bahwa membuat atau mencari uang dengan jujur adalah merupakan aktifitas yang tidak berdosa.
       Itulah pembuktian pertama secara analitis yang dianjurkan Weber tentang bagaimana hubungan antara Spirit Kapitalisme modern identik dengan Spirit Protestan. Tentang bagaimana faktor agama mempunyai pengaruh terhadap aktifitas ekonomi.
       Pembuktian kedua olehnya diajukan angka-angka statistik. Jika benar bahwa ajaran Protestan mengkibatkan perkembangan Kapitalisme modern, maka harus dapat dibuktikan dua hal kata Weber, yaitu:
1.      Di masyarakat-masyarakat yang mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang sama untuk perkembangan Kapitalisme modern, haruslah dijumpai agama-agama tertentu yang memiliki Etika Protestan atau yang sama dengan Etika Protestan.
2.      Di masyarakat-masyarakat dimana Kapitalisme modern tidak timbul harus tidak dijumpai ajaran-ajaran agama Protestan ata yang sama dengan Etika Protestan.
            Maka diajukan oleh Weber fakta-fakta bahwa sejak jaman Reformasi, negara-negara yang menganut agama Protestan sebagai mayoritas adalah negara-negara yang lebih maju ekonominya. (Dia menunjuk negara-negara seperti Holland, Inggris, Amerika dan lain-lain). Sementara itu negara-negara yang mayoritas menganut agama atau ajaran Katolik atau ajaran-ajaran non Protestan lainnya, pada umumnya ketinggalan di dalam perkembangan ekonominya. Dengan menerangkan hal ini, maka jelaslah bagaimana etika ekonomi Protestan telah mendidik dan melatih para anggota-anggotanya/penganutnya menjurus kepada ekonomi kapitalis. Spirit Protestan telah menanamkan pola kebiasaan – kebiasaan dan bentuk-bentuk aktifitas yang perlu untuk membangun dan mengatur perusahaan-perusahaan Kapitalisme modern secara sukses.
Pembuktian ketiga dari hipotesa yang diajukan Weber juga melalui angka-angka statistik yang dilakukan di Jerman. Di negeri Jerman katanya, yang menganut Protestan itu, penduduknya yang menganut agama Protestan secara ekinomi lebih baik/lebih kaya dibandingkan dengan penduduk yang menganut agama Katholik atau agama-agama non Protestan lainnya. Anak-anak yang beragama dari keluarga-keluarga Protestan justru menunjukan presentase keberhasilan yang lebih besar di dalam sekolah-sekolah dagang dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari keluarga Katholik dan non Protestan lainnya.
            Tetapi barangkali juga kenyataan ini dapat dibantah, demikian kata Weber selanjutnya. Artinya bahwa mungkin saja dapat diajukan hipotesa yang menentang hipotesa di atas itu. Negara-negara Inggris, Holland dan negara-negara lain yang secara ekonomi lebih baik kehidupannya bukan karena mereka menganut ajaran Protestan, tetapi mereka lebih baik. Atau mengambil contoh dari penelitian di Jerman, barangkali juga keuluarga-keluarga kaya itu menjadi kaya bukan karena mereka menganut ajaran Protestan tetapi mungkin juga bahwa ajaran Protestan tetapi mungkin juga bahwa ajaran Protestan dianut oleh keluarga-keluarga kaya itu karena alasan kekayaan atau karena memang mereka sudah kaya terlebih dahulu.
            Tetapi hipotesa itu adalah salah kata Weber. Buktinya kalau kita lihat di negara-negara yang mayoritas memeluk ajaran Katolik atau ajaran non Protestan lainnya, orang-orang dari sekte Protestan yang merupakan minoritas, justru amat terkenal karena kesuksesannya di dalam bidang industri; karena ketrampilannya di dalam usaha-usaha dagang dan peran mereka yang menonjol di dalam setiap aktifitas ekonomi.
            Weber menganalisa Wirtschaftsethik atau Etika Ekonomi dari suatu agama dari agama-agama lain seperti Confusianism, Taoism, Hinduism, Budhaism, dan bahkan agama Judaism. Dia berkesimpulan bahwa tradisi ajaran dan spirit dari masing-masing agama itu sangat berbeda dengan Spirit Kapitalisme modern, dan ajaran serta spirit bertanggung jawab terhadap keterbelakangan Kapitalisme dari negara-negara yang menganut agama-agama itu. Kesimpulan ini dikucilkannya untuk sebagian penganut Judaisme, sebab dalam beberapa hal, agama ini memiliki banyak persamaan dengan agama Kristen, terutama dalam spriritnya.


Daftar Pustaka
Achmad, Fedyani. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Durkheim, Emile, 1947. The Elementary Forms of Religious Life. New York: Free Press.
_________, 1964. The Division of Labour in Society. New York: Free Press.

Haryanto. (tt). Herbert Spencer (Modul Pembelajaran Universitas Terbuka). Jakarta: Universitas Terbuka.
Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L.1989.Sosiologi, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
Osborne, Richard dan Borin Van Loon. 1998. Mengenal Sosiologi for Beginners. Bandung. Mizan.

Paul, Johnson doyle.1986.Teori Sosioligi Klasik Dan ModernI.Jakarta:PT Gramedia

Pickering, Mary. 1993. Auguste Comte: an Intellectual Biography. Vol. 1. Cambridge. Eng: Cambridge University Press.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2007.Teori Sosiologi Modern (Edisi VI). Jakarta: Kencana.
———–. 2011. Teori Sosiologi. Jil 6. Bantul: Kreasi Wacana

Schweber, Silvan. 1991. Auguste Comte and the Nebular Hypotesis.” Dalam R.T. Bienvenu dan M. Feingold (ed), in the presence of the past: Essay in Honor of Frank Manuel. Dordrecht, Netherlands: Kluwer: 131-191.

Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta. Erlangga.

Spencer, Herbert. 1897. The Principles of Sociology Vol. 1 (Edisi III). New Yrok: A. Appleton and Company.

Sukanto, Soerjono. (1982). Teori Sosiologi tentang Pribadi dan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
———–. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Veeger, KJ.1992.Pengantar Sosiologi.jakarta: Gramedia.
———–.1986.BAB II.B. Herbert Spencer dan C. Darwinisme Sosial. Dalam KJ. Veeger. 1986. Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia.




[1] Pickering, Mary. 1993. Auguste Comte: an Intellectual Biography. Vol. 1. Cambridge. Eng: Cambridge University Press.
[2] Pickering, Mary. 1993. Auguste Comte: an Intellectual Biography. Vol. 1. Cambridge. Eng: Cambridge University Press.
[3] Schweber, Silvan. 1991. Auguste Comte and the Nebular Hypotesis.” Dalam R.T. Bienvenu dan M. Feingold (ed), in the presence of the past: Essay in Honor of Frank Manuel. Dordrecht, Netherlands: Kluwer: 131-191.
[4] Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta. Erlangga.

[5] Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2007.Teori Sosiologi Modern (Edisi VI). Jakarta: Kencana.

[6] Sukanto, Soerjono. (1982). Teori Sosiologi tentang Pribadi dan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
[7] Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L.1989.Sosiologi, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga.
[8] Sukanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
[9] Sukanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
[10] Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.

[11] Sukanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

[12] Veeger, KJ.1992.Pengantar Sosiologi.jakarta: Gramedia hal.80
[13] Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L.1989.Sosiologi, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga.
[14] Haryanto. (tt). Herbert Spencer (Modul Pembelajaran Universitas Terbuka). Jakarta: Universitas Terbuka.
[15] Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L.1989.Sosiologi, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga.
[16] Haryanto. (tt). Herbert Spencer (Modul Pembelajaran Universitas Terbuka). Jakarta: Universitas Terbuka.

[17] Sukanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

[18] Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2007.Teori Sosiologi Modern (Edisi VI). Jakarta: Kencana.

0 Response to "Teori Sosiologi Klasik"

Post a Comment

Contoh Penelitian Sederhana, Materi Sosiologi: Metode Penelitian Sosial (Problematika Proses Pembelajaran di Sekolah-Sekolah di Perkotaan)

Contoh Penelitian Sederhana, Materi Sosiologi: Metode Penelitian Sosial (Problematika Proses Pembelajaran di Sekolah-Sekolah di Perkotaa...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel